JAKARTA.WAHANANEWS.CO – Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers Tri Agung Kristanto menyampaikan salah satu poin penting dari pertemuan World Press Freedom Day 2025 atau Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 di Belgia.
Poin yang Tri bawa dari pertemuan tahunan setiap tanggal 3 Mei yang digagas United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) itu terkait Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan jurnalisme.
Baca Juga:
Foto Bergaya Ghibli Kian Populer, Ini Cara Membuatnya Lewat ChatGPT
Tri mewakili negara Indonesia dari Dewan Pers mengatakan AI harus bisa dipahami sebagai peluang sekaligus ancaman bagi jurnalisme.
“Poin pertemuan adalah keberadaan AI bisa menjadi peluang sekaligus ancaman bagi jurnalisme,” kata Tri dalam konferensi pers dihadapan peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Aula Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Jumat (09/5/2025).
Tri mengungkapkan AI sebagai ancaman harus kita kenali sebaik-baiknya karena tidak sepenuhnya bisa menggantikan tugas seorang wartawan.
Baca Juga:
Hadapi Lonjakan Konektivitas Saat Ramadan dan Lebaran, Indosat Perkuat Jaringan dengan AI
“Kita harus kenali AI sebaik-baiknya. Dengan begitu kita bisa gunakan AI secara optimal untuk kepentingan jurnalisme. Dengan demikian AI sebagai ancaman dapat kita kendalikan untuk kepentingan jurnalisme, bukan kepentinganku,” ungkap Tri yang menyebut petemuan tahun ini dihadiri 80 negara, termasuk Indonesia.
Wartawan senior Kompas yang kerap dipanggil Tra ini juga mengungkapkan bahwa AI dipahami sebagai peluang tentu bisa membantu pekerjaan jurnalistik oleh wartawan selama ini.
Dia mengambil contoh di Kompas tempatnya bekerja telah mengembangkan AI sejak Mei 2022.
“Dulu kami kerja sama dengan Jakarta Post untuk menerjemahkan berita-berita dalam bahasa Inggris. Setiap hari cuma bisa tujuh berita yang diterjemahkan dan membayar Rp 70 juta per bulan. Sekarang dengan keberadaan AI ini lebih dari seratus berita bisa diterjemahkan dengan biaya per bulan kurang dari Rp 3,5 juta,” ujarnya.
Tri lebih lanjut menjelaskan meski AI bisa membantu pekerjaan jurnalistik wartawan, peran manusia sebagai kontrol tetap diperlukan lantaran AI tidak sepenuhnya memahami hal-hal detil pekerjaan jurnalistik.
“Dan nggak semuanya bisa dikerjakan AI, namun tetap butuh manusia. Kayak kami di Kompas tetap butuh manusia sebagai kontrol untuk AI. Kenapa? Karena ada beberapa hal yang tak sepenuhnya dipahami AI,” tambahnya.
Oleh sebab itu, Tri menegaskan meski ada kekhawatiran, jurnalisme dan AI bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan harus saling melengkapi.
Namun demikian, Tri sangat yakin bahwa AI tidak akan sepenuhnya menggantikan pekerjaan manusia.
“Untuk menghadapi AI, manusia harus tetap mengembangkan diri. Sebab, meskipun AI dapat meniru banyak hal, manusia memiliki keunikan yang tak tergantikan,” tegasnya.
Dihadapan peserta UKW, Tri kembali mengingatkan jika wartawan atau jurnalis tidak mengembangkan diri, maka ancaman akan muncul.
Itu sebabnya, kata Tri, kecerdasan buatan juga harus bisa menjadi bagian dari kolaborasi yang bisa mengembangkan media.
“Kecerdasan buatan harus bisa menjadi bagian dari kolaborasi yang bisa mengembangkan media,” ungkapnya.
Pedoman Dewan Pers
Sementara itu, dikutip dari News.Republika.co.id, Abdul Manan Anggota Tim Perumus Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik mengungkapkan Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2025.
Menurut Manan, terdapat beberapa isu yang menjadi pembahasan dalam penyusunan pedoman itu, salah satunya adalah mengenai dampak negatif yang ditimbulkan penggunaan kecerdasan buatan atau AI.
"Pemanfaatan AI akan mengakibatkan disrupsi yang lebih besar dalam jurnalisme, terutama dalam pemanfaatan sumber daya manusia," kata Abdul kepada wartawan di Gedung Dewan Pers, Jumat (24/1/2025).
Dijelaskan dia, perusahaan pers telah terdisrupsi secara ekonomi akibat perkembangan digital yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu disrupsi yang paling jelas adalah beralihnya sumber ekonomi perusahaan pers, khususnya iklan, ke media sosial.
"Nah AI punya potensi besar untuk membuat tenaga manusia yang bekerja di jurnalisme akan digantikan. Ada kekhawatiran begitu," ungkap Manan.
Karena itu, Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik berusaha mencegah terjadinya disrupsi. Harapannya, pemanfaatan AI tidak banyak berdampak kepada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap wartawan.
Kendati demikian, PHK merupakan isu ekonomi. Sementara itu, Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik merupakan isu etika, lantaran berpedoman dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
"Makanya dalam pedoman ini, dimasukkan dalam konsideran. Jadi disebutkan bahwa kecerdasan buatan digunakan untuk membantu dan mempermudah proses kerja, bukan untuk menggantikan," kata dia.
Manan menambahkan, hal itu akan menjadi pekerjaan rumah bagi Dewan Pers untuk melakukan sosialisasi kepada konstituennya. Artinya, perusahaan media diperkenankan menggunakan AI selama tidak menggantikan tugas manusia.
"Jadi ini PR Dewan Pers untuk sosialisasi kepada media. Silakan menggunakan AI, tapi jangan dijadikan alasan untuk memperbanyak PHK kepada wartawan," katanya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]