Jakarta.WAHANANEWS.CO - Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran menyatakan dukungan penuh terhadap langkah tegas Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) yang mewajibkan 48 kawasan industri di wilayah aglomerasi Jabodetabekjur memasang alat pemantau emisi.
Perangkat ini terhubung langsung dengan sistem pemerintah. Kebijakan tersebut dinilai sebagai terobosan penting untuk menghadirkan tata kelola kualitas udara yang transparan, terukur, dan berpihak pada kepentingan publik.
Baca Juga:
Emisi Kendaraan Makin Tinggi, Kualitas BBM Indonesia Tertinggal dari Standar Dunia,
MARTABAT Prabowo-Gibran menilai kewajiban pemasangan deteksi emisi real-time tersebut mencerminkan keseriusan negara dalam melindungi hak dasar warga atas udara bersih, sekaligus memperkuat sistem pengawasan industri berbasis data.
Organisasi relawan ini menegaskan bahwa pendekatan digital dan keterhubungan langsung dengan pemerintah akan menutup ruang manipulasi data emisi serta mendorong kepatuhan industri secara berkelanjutan.
Ketua Umum Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, mengatakan kebijakan KLH tersebut merupakan langkah visioner yang sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Baca Juga:
Udara Jakarta Makin Parah! Masuk Peringkat 2 Dunia, Warga Diminta Tutup Jendela
Menurutnya, pengendalian polusi udara tidak lagi bisa bersifat imbauan moral, melainkan harus berbasis instrumen kebijakan yang tegas, terukur, dan dapat diaudit publik.
“Langkah KLH mewajibkan 48 kawasan industri memasang alat pemantau emisi yang terkoneksi langsung dengan pemerintah adalah fondasi penting menuju tata kelola lingkungan modern. Ini bukan semata soal pengawasan, tetapi membangun ekosistem industri yang bertanggung jawab terhadap kesehatan publik dan masa depan kota-kota aglomerasi,” ujar Tohom, Senin (15/12/2025).
Tohom menyoroti data KLH yang mencatat sektor industri menyumbang sekitar 14 persen polusi udara di Jabodetabek, serta dampak ekonomi yang sangat besar akibat penurunan kualitas udara.
Kerugian ekonomi akibat penyakit pernapasan yang mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, menurutnya, menjadi argumen kuat bahwa pengendalian emisi adalah investasi jangka panjang, bukan beban biaya.
“Ketika negara harus menanggung kerugian ekonomi lebih dari Rp45 triliun per tahun akibat polusi udara, maka pencegahan melalui sistem pemantauan emisi menjadi pilihan paling rasional. Biaya pemasangan alat jauh lebih kecil dibandingkan ongkos sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat,” tegasnya.
Tohom Purba yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini menggarisbawahi pentingnya integrasi kebijakan pusat dan daerah dalam isu kualitas udara.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa pemasangan alat pemantau emisi tidak boleh berhenti di kawasan industri saja, melainkan harus menjadi sistem terpadu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan publik.
“Transparansi data kualitas udara harus bisa diakses masyarakat. Dengan begitu, warga menjadi bagian dari sistem pengawasan sosial. Ini akan menciptakan tekanan positif bagi industri dan pemerintah daerah untuk konsisten menjaga kualitas udara di kawasan aglomerasi,” katanya.
Lebih lanjut, Tohom menilai kebijakan KLH dapat menjadi model nasional dalam pengendalian pencemaran udara berbasis kawasan.
Ia berharap langkah ini diperluas ke wilayah industri lain di luar Jabodetabekjur, sehingga Indonesia memiliki standar nasional pengelolaan kualitas udara yang adaptif, berbasis teknologi, dan berorientasi pada kesehatan generasi mendatang.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]