Jakarta.WAHANANEWS.CO - MARTABAT Prabowo-Gibran menegaskan bahwa pembangunan transportasi massal terintegrasi di kawasan aglomerasi Jabodetabekjur bukanlah pengeluaran yang sia-sia, melainkan sebuah kebutuhan mendesak.
Organisasi relawan ini menyoroti bahwa kerugian akibat kemacetan di wilayah megapolitan tersebut sudah mencapai lebih dari Rp100 triliun setiap tahun.
Baca Juga:
Permudah Akses Antar Dusun dan Tingkatkan Produktivitas Perkebunan, Pemdes Hutagurgur Bangun Rabat Beton
Angka itu, menurut mereka, jelas lebih besar ketimbang investasi yang dibutuhkan untuk membangun jaringan transportasi modern dan efisien.
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menilai transportasi massal harus dipandang sebagai jalan keluar dari jebakan kerugian ekonomi yang terus berulang.
“Jika kita terus membiarkan kemacetan tanpa solusi terintegrasi, biaya sosial dan ekonomi akan semakin membengkak. Justru investasi transportasi massal adalah strategi penyelamatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat di Jabodetabekjur,” tegas Tohom, Sabtu (6/9/2025).
Baca Juga:
Trayek Kapal Cepat Banyuwangi–Denpasar Tertunda, Fokus Perbaikan Pelabuhan Serangan
Ia menambahkan, persoalan kemacetan tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga berdampak pada kesehatan masyarakat akibat polusi udara serta menurunkan produktivitas pekerja.
“Waktu yang terbuang di jalan, kualitas udara yang semakin buruk, hingga tekanan psikologis masyarakat adalah biaya tak terlihat yang nilainya jauh lebih mahal. Maka transportasi massal bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi investasi peradaban,” kata Tohom.
MARTABAT Prabowo-Gibran juga menekankan perlunya sinergi antarpemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga BUMN transportasi, agar sistem transportasi massal dapat benar-benar terintegrasi.
Mereka menyoroti bahwa pembangunan jalur MRT, LRT, hingga bus rapid transit harus saling terhubung, bukan berjalan parsial.
“Transportasi massal hanya akan efektif jika ada integrasi penuh, dari jalur, tarif, hingga manajemen operasional,” imbuh Tohom.
Lebih jauh, Tohom menilai pemerintah perlu berani mengubah paradigma dalam melihat investasi infrastruktur.
Alih-alih menunggu ketersediaan dana penuh, model pembiayaan kreatif seperti skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) atau obligasi hijau (green bond) dapat didorong untuk mempercepat realisasi proyek.
“Kalau dihitung untung-rugi, setiap rupiah yang ditanamkan dalam transportasi massal akan kembali dalam bentuk penghematan waktu, energi, dan biaya kesehatan masyarakat. Jadi ini bukan soal bisa atau tidak, tetapi soal mau atau tidak,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek keadilan sosial dalam merancang transportasi massal. Infrastruktur modern harus bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu.
“Transportasi publik yang nyaman, aman, dan terjangkau akan membentuk budaya baru dalam mobilitas warga. Dari yang awalnya bergantung pada kendaraan pribadi, bergeser menjadi pengguna transportasi publik. Itu akan menjadi revolusi gaya hidup perkotaan,” tambah Tohom.
Di akhir pernyataannya, MARTABAT Prabowo-Gibran mengungkapkan bahwa tanpa keberanian untuk berinvestasi di transportasi massal, Jabodetabekjur akan terus terjebak dalam lingkaran setan kemacetan.
“Sudah saatnya kita berpikir jangka panjang. Transportasi massal adalah warisan untuk generasi mendatang,” tutup Tohom.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]