WahanaNews-Jakarta | Penundaan Pemilu 2024 jadi wacana yang hangat dibicarakan publik. Muncul pro dan kontra atas wacana tersebut.
Apalagi setelah Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan buka suara soal wacana penundaan pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca Juga:
Sambut Masa Tenang Pilkada Jakarta, KPU Jakbar Gelar Panggung Hiburan Rakyat
Salah satu cara yang paling legitimate untuk menunda Pemilu 2024 adalah amendemen konstitusi atau UUD 1945. Untuk itu, diskusi publik juga membahas soal peluang amendemen UUD 1945. Ruang formal dan politik amendemen UUD 1945 ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR yang jumlah anggotanya sebanyak 711 orang dengan perincian 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD.
Lalu pasal apa saja yang harus diubah jika terjadi amendemen UUD 1945 untuk mengakomodir wacana penundaan pemilu?
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid atau biasa disapa Gus Jazil menilai pasal yang harus diubah jika wacana penundaan pemilu diatur dalam konstitusi adalah Pasal 22E UUD 1945. Menurut Gus Jazil, perlu ditambahkan ketentuan dalam Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur penundaan pemilu jika terjadi kedaruratan atau bencana nasional.
Baca Juga:
Sekjen GEKIRA Partai Gerindra: Pemilukada Damai Bukti Rakyat Cerdas
“Hari ini memang konstitusi kita tidak mengatur (pelaksanaan pemilu) jika terjadi bencana nasional, itu enggak ada, hanya soal pemilu lima tahun sekali, mestinya ada, jika terjadi bencana nasional maka jadwal pemilu lima tahun digeser atau apalah gitu, kan enggak ada di konstitusi kita,” ujar Gus Jazil, sapaan akrabnya, di acara diskusi bertajuk "Wacana Penundaan Pemilu, Bagaimana Sikap DPR?," di Media Center MPR/DPR/DPR, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/3/2022).
Gus Jazil mengatakan, Pasal 22E UUD 1945 hanya mengatur pemilu diselenggarakan lima tahun sekali. Namun, katanya, pasal ini tidak mengatur mekanisme pelaksanaan pemilu jika terjadi bencana nasional, misalnya bom pandemi Covid-19 kembali meledak lebih dahsyat lagi pada 2024.
“Gimana nanti kalau nanti 2024 tiba-tiba ada bom pandemi yang enggak tahu dikirim dari mana, terus kita enggak bisa punya konstitusi (atur soal penundaan pemilu), itulah yang saya sebut terjadi chaos besar,” ungkapnya.
Pasal 22E UUD 1945 memuat enam ayat yang mengatur tentang Pemilu. Berikut ini bunyi lengkapnya:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga sudah memberikan penjelasan lengkap soal kemungkinan pasal yang diamendemen jika wacana penundaan pemilu diakomodir dalam konstitusi.
Menurut Yusril, bukan hanya mengubah pasal-pasal UUD 1945 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi juga harus menambahkan pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum khususnya Pasal 22E UUD 1945.
"Setidaknya, terdapat dua ketentuan yang ditambahkan dalam Pasal 22E UUD 1945," kata Yusril dalam keterangannya, Minggu (27/2/2022).
Pertama, Pasal 22E ayat (7) UUD 1945 yang berisi norma, "Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu."
Kedua, Pasal 22E ayat (8) UUD 1945 yang menyebutkan, "Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum."
“Dengan penambahan dua ayat dalam Pasal 22E UUD 1945 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu. Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru,” jelas Yusril.
Peluang Amendemen 1945
Peluang amendemen UUD 1945 untuk penundaan pemilu hingga saat ini masih sulit diwujudkan. Hal ini mengingat wacana tersebut baru didukung oleh tiga partai, yakni Partai Golkar, PKB dan PAN. Sementara partai koalisi pemerintah lainnya, yakni PDIP, Gerindra, Nasdem, dan PPP serta Partai Demokrat dan PKS sudah tegas menolak wacana ini.
Peran partai politik ini menjadi penting karena proses politik amendemen UUD 1945 dilakukan di MPR yang anggotanya terdiri dari DPR dan DPD. Dengan demikian, suara fraksi parpol sangat dibutuhkan untuk memenuhi syarat formal amendemen UUD 1945.
Sejumlah ketentuan sudah mengatur syarat formal amendemen UUD 1945, yakni Pasal 37 UUD 1945, Pasal 24 sampai Pasal 32 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR.
Dalam Pasal 37 UUD 1945, telah diatur secara rigid mekanisme amendemen UUD 1945. Syarat tersebut antara lain amendemen pasal-pasal UUD 1945 harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau 1/3 dari 711 anggota MPR, yakni 237 anggota MPR.
Kedua, harus diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Ketiga, sidang MPR harus dihadiri oleh minimal 2/3 dari seluruh anggota MPR atau 2/3 dari 711 anggota MPR, yakni 474 anggota. Keempat, pasal-pasal yang diubah harus disetujui oleh 50 persen ditambah satu suara anggota dari seluruh anggota MPR atau sebanyak 357 anggota MPR.
Jika kurang dari jumlah tersebut, maka perubahan pasal tidak bisa dilakukan. Terakhir, bentuk negara tidak bisa diubah dengan alasan apa pun.
Mencermati ketentuan tersebut, PKB, Golkar dan PAN sedang mengemban misi sulit mewujudkan ide penundaan pemilu melalui amendemen UUD 1945.
Total suara dari tiga partai tersebut hanya 187 suara dengan perincian PKB 58 suara, Golkar 85 suara dan PAN. Sementara partai yang menolak wacana penundaan pemilu total suaranya sebanyak 388 suara dengan perincian PDIP 128 suara, Gerindra 78 suara, Nasdem 59 suara, Demokrat 54 suara, PKS 50 suara dan PPP 19 suara. Lalu jumlah suara DPD sebanyak 136 suara.
Merujuk pada hitung-hitungan suara parpol di MPR, PKB, Golkar dan PAN masih kurang 50 suara untuk memenuhi syarat mengajukan usulan amendemen UUD 1945 di MPR. Peluang tersebut bisa saja diperoleh dari DPD yang suaranya tidak terikat seperti suara fraksi di DPR.
Dalam konteks ini, ketiga partai tersebut perlu melakukan lobby kepada pribadi-pribadi DPD untuk mendukung wacana penundaan pemilu 2024 melalui amendemen UUD 1945. Peluang ini terbuka didapatkan ketiga partai tersebut.
Langkah berat berikutnya adalah memastikan sidang MPR untuk amendemen UUD 1945 kuorum atau dihadiri minimal 474 anggota MPR. Hal ini berarti, PKB, Golkar dan PAN harus mencari 237 suara lainnya untuk memastikan sidang MPR kuorum. Jika tidak, prosesnya tidak bisa dilanjutkan.
Langkah ini tampak sulit karena mereka mau tidak mau harus mendapatkan suara tersebut dari partai-partai yang sudah tegas menolak ide penundaan pemilu 2024.
Meski sulit, segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam politik. Dalam konteks ini, perlu lobby-lobby tingkat dewa untuk mendapat suara dari partai-partai yang solid menolak ide penundaan pemilu. Begitu juga dalam proses pengambilan putusan amendemen pasal-pasal UUD 1945, minimal disetujui oleh 357 anggota MPR.
PKB sendiri sudah mengatakan akan terus mengkaji wacana penundaan pemilu dan amendemen UUD 1945 dengan melibatkan para pakar lintas bidang.
Sementara Partai Golkar terus melakukan komunikasi dengan pimpinan parpol terkait wacana tersebut. Bahkan, Ketum Golkar, Airlangga Hartarto sempat membahas wacana penundaan pemilu saat bertemu Ketum Nasdem Surya Paloh beberapa waktu lalu. [non]