WahanaNews-Jakarta | Akhirnya, masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) dan Gorontalo kini bisa memetik buah dari upaya sinergis dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada penghujung Abad XX lalu, yang memanfaatkan potensi panas bumi di Kelurahan Lahendong, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon.
Kini, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong menjadi sumber listrik andalan yang bisa bekerja sepanjang waktu, murah, dan minim emisi karbon.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Alkisah, pada 1997 silam, sebuah proyek besar di Tondangow sudah berjalan selama setahun ketika Merry Wawoh dan keluarganya kembali ke kampung halaman mereka di selatan Kota Tomohon, Sulawesi Utara (Sulut), tersebut.
Kala itu, tanah dibor dalam-dalam, hingga muncul uap putih beraroma belerang yang asam.
Dari sana, pipa logam dirangkai hingga ratusan meter, menuju mesin-mesin raksasa.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Menurut warga setempat, itu proyek pembangkit listrik.
Namun, dampak pertama yang dirasakan warga, adalah pengaspalan jalan umum.
“Para orangtua kami jadi senang, karena jalan ke kebun diaspal. Jadi bagus, bukan jalan tanah lagi,” kata Merry, yang kini berusia 39 tahun, saat dikunjungi wartawan, Kamis (7/10/2021).
Lalu, per 21 Agustus 2001, PLTP Lahendong, proyek besar itu, berhasil beroperasi.
Dan, mulai saat itu, barulah warga Tondangow merasakan dampak yang sesungguhnya.
“Sejak itu, pasokan listrik di kampung kami bagus. Sudah hampir tidak pernah padam seharian, seperti cerita-cerita kakek dan nenek saya di tahun 1990-an,” kata Merry.
Sejak itu jualah, semakin banyak warga Tondangow yang berlangganan listrik.
Merry bilang, para petugas sekitar, yang sebenarnya fokus untuk menangani pembangkit, tak segan melayani permintaan pasang baru.
Tak sedikit juga warga kampung sekitar, seperti dari Tondangow dan Pangolombian, yang terserap menjadi tenaga kerja alih daya.
PLTP Lahendong pun kemudian menjadi penanda sejarah kelistrikan di Tanah Air.
Lewat pembangkit pertamanya (Unit 1), yang berkapasitas 20 megawatt (MW), untuk pertama kalinya uap panas dari dalam perut bumi Sulawesi dimanfaatkan menjadi listrik, demi menerangi kehidupan masyarakat dan memutar roda perekonomian.
Keberhasilan operasi unit pertama oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) itu pun kemudian diikuti dengan pembangunan dan pengoperasian pembangkit Unit 2 pada 2007, Unit 3 (2009), dan terakhir Unit 4 (2011).
Semuanya berkapasitas 20 MW, sehingga total daya terpasangnya mencapai 80 MW.
Hari ini, PLTP Lahendong menjadi salah satu tulang punggung sistem kelistrikan di Sulawesi Utara dan Gorontalo (Sulutgo).
Berkat uap panas yang tak pernah berhenti mengepul dari perut bumi itu, PLTP Lahendong pun menjadi pembangkit base load yang dapat bekerja sepanjang waktu untuk menanggung kebutuhan pelanggan.
“Sepanjang 2020, kami memproduksi listrik sebesar 515 gigawatt jam (GWh), atau berkontribusi kira-kira 21 persen pada produksi sistem kelistrikan Sulutgo. Untuk konsumsi rumah tangga, itu setara dengan melistriki 61.500 rumah dengan daya 1.300 VA (volt ampere) setiap hari,” kata Manager Unit Layanan PLTP Lahendong, Aminudin Wahib, ketika ditemui wartawan di kantornya, Rabu (29/9/2021).
Sepanjang Januari-Agustus 2021, empat unit PLTP Lahendong telah memasok energi listrik sebesar 340 GWh.
Capaian ini bisa diwujudkan juga berkat kolaborasi dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), yang mengelola 14 sumur produksi panas bumi sedalam sekitar 2.800 meter untuk memasok uap ke pembangkit PT PLN.
Dengan sistem single flash steam, uap yang sudah dipisahkan dari fluida geotermal dialirkan dengan pipa sepanjang 1-3 kilometer ke tabung demister untuk menghilangkan butiran-butiran cair yang masih terbawa.
Kemudian, uap kering akan memutar turbin pembangkit.
Generator pun akan sontak berputar dengan kecepatan 3.000 rotasi per menit (RPM).
Proses itu menghasilkan listrik bertegangan 11 kilovolt (kV), yang akan dilipatgandakan menjadi 150 kV sebelum dialirkan ke pelanggan.
Adapun uap yang keluar dari turbin akan didinginkan dengan air di menara pendingin, sebelum dikembalikan kepada enam sumur injeksi yang dikelola PGE.
Ini tak ubahnya upaya untuk memaksimalkan keunggulan komparatif masing-masing BUMN.
Kolaborasi keduanya dituangkan dalam Perjanjian Jual-Beli Uap (PJBU).
“Pemakaian uap dihitung berdasarkan jumlah listrik yang dibangkitkan. Sekarang harganya berkisar pada 6,2 sen dollar (Rp 853) per kWh (kilowatt jam),” kata Wahib.
Murah dan Bersih
Komponen harga itu turut menjadikan PLTP Lahendong sebagai salah satu PLTP dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) termurah di dunia, yaitu Rp 1.227 alias 8,6 sen dollar AS per kWh.
Harga itu masih lebih murah ketimbang tarif listrik rumah berdaya 900 VA, yaitu Rp 1.352 per kWh.
Uniknya, pembelian uap dari PT PGE (komponen C) sebagai sumber energi primer adalah penyusun terbesar BPP.
“Sisanya, yaitu nilai depresiasi aset (komponen A), biaya kepegawaian dan pemeliharaan (komponen B), serta pelumas dan bahan kimia (komponen D), jika ditotal hanya 2,4 sen dollar AS (Rp 374) per kWh,” ujar Wahib.
Manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Minahasa PLN, Andreas Arthur Napitupulu, menyebut BPP PLTP Lahendong kini hanya bersaing dengan salah satu PLTP di Selandia Baru.
Hal ini membuktikan, upaya efisiensi dalam operasi dan perawatan telah berjalan dengan sangat baik.
“Kami juga terus berupaya mengoptimalkan tenaga kerja serta perawatan yang lebih prediktif. Dan, yang paling penting, adalah menjalankan tata kelola pembangkit dengan konsisten,” kata Andreas mengenai PLTP yang diperkuat 103 tenaga kerja itu.
BPP yang rendah itu mendorong UPDK Minahasa untuk berkomitmen mengoptimalkan PLTP Lahendong hingga 24 jam setiap harinya.
Namun, hal yang tak kalah penting dari pembangkit ini, adalah sifatnya yang ramah lingkungan dengan emisi karbon yang rendah, yaitu hanya sekitar 75 gram per kWh.
Menurut penilaian Asosiasi Spanyol untuk Standarisasi dan Sertifikasi (AENOR), Unit 2 PLTP Lahendong dapat mereduksi 84.960 ton karbon dioksida (CO2) sepanjang 2010, kemudian 63.817 ton pada 2011, dan 67.527 ton selama 2012.
Karenanya, PLTP Lahendong menjadi satu-satunya PLTP di wilayah timur Indonesia yang mendapatkan sertifikat reduksi emisi Clean Development Mechanism (CDM).
Menurut Wahib, jika dikonversi ke rupiah, pengurangan emisi karbon itu bisa menghemat Rp 17,2 miliar.
Sebab, ketika PLTP Lahendong beroperasi maksimal, setidaknya tiga Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan daya terpasang 75 MW di Bitung, Minahasa Selatan, dan Kotamobagu bisa diistirahatkan.
Peran PLTP Lahendong dalam bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) di sistem interkoneksi Sulutgo pun semakin penting sejak Juli 2021.
Berakhirnya kontrak antara PT PLN dengan Kapal Pembangkit Tenaga Listrik (MVPP) Karadeniz Power Ship Zeynep Sultan asal Turki, yang beberapa tahun belakangan beroperasi di Minahasa Selatan, berarti juga bergantinya batu bara dengan panas bumi sebagai energi primer yang lebih bersih.
Kini, dari seluruh pembangkit di Sulutgo yang daya mampunya mencapai 620 MW, bauran EBT sudah menyentuh 33 persen.
Angka itu sudah termasuk 12,9 persen dari empat pembangkit PLTP Lahendong yang dikelola PLN.
Pada saat yang sama, pemanfaatan panas bumi di Sulut pun semakin besar berkat dua unit pembangkit lain yang dibangun dan dioperasikan sendiri oleh PGE sejak 2017, yaitu Unit 5 dan 6, yang masing-masing berkapasitas 20 MW.
PLN tinggal membeli listrik yang dihasilkan untuk didistribusikan kepada pelanggan dengan biaya 11 sen dollar AS (Rp 1.563) per kWh.
Berkelanjutan
Lalu, sampai kapan PLTP Lahendong bisa mengonversi panas bumi menjadi listrik?
“Berdasarkan evaluasi aset 2019 lalu, PLTP Lahendong masih memiliki nilai manfaat hingga 40 tahun kemudian, atau masih bisa beroperasi sampai 2059,” kata Andreas.
Menurutnya, potensi panas bumi di daerah Lahendong dan sekitarnya, seperti Tompaso dan Minahasa, masih sangat besar.
“PLN pun masih sangat terbuka pada peluang untuk mendukung program EBT yang dicanangkan pemerintah di sektor kelistrikan,” tambahnya.
Selama 2020, secara nasional baru 2.100 MW dari potensi panas bumi 28.000 MW yang telah dimanfaatkan dengan PLTP.
Di Sulut, cadangan uap panas bumi yang telah terpetakan terletak di lapangan Lahendong dan Tompaso.
General Manager Area Lahendong PT PGE, Chris Toffel Pelmeday, yang baru saja purnatugas September 2021 lalu dan belum memiliki pengganti, mengatakan, “cadangan terbukti” di sumur Lahendong mencapai 80 MW, tetapi uap yang tersedia di kepala sumur sudah mencapai 100 MW.
Masih ada juga “cadangan mungkin” sebesar 80 MW.
Sementara itu, di Tompaso, masih ada surplus energi 6-8 MW untuk menopang 40 MW yang telah dimanfaatkan.
“Cadangan mungkin” yang masih bisa dikembangkan mencapai 100 MW.
“Kami masih percaya diri bisa mempertahankan produksi uap di kedua lapangan, tidak ada kendala berarti dari sisi kami,” kata Chris, dalam wawancara dengan wartawan, Jumat (30/7/2021).
Menurut Chris, PGE telah berencana melanjutkan eksplorasi di lapangan Tompaso untuk mengembangkan Unit 7 dan 8 pada 2025-2026 jika situasi perekonomian membaik.
Sebab, biaya eksplorasi sangatlah besar. Sebagai gambaran, menyewa rig untuk membuat lubang saja bisa menghabiskan biaya 100.000 dollar AS (Rp 1,4 miliar) per hari.
“Kami tetap bertekad memanfaatkan energi geotermal demi menjaga ketahanan energi di sistem Sulutgo. Energi geotermal ini betul-betul ramah lingkungan dan konstan tanpa gangguan seperti cuaca,” kata Chris.
Ia menambahkan, sumber panas bumi bisa saja bertahan seumur hidup, tetapi itu tergantung manajemen reservoir.
Selama ini, ia mencontohkan, temperatur fluida geotermal yang keluar dari sumur produksi biasanya bersuhu 250 derajat Celcius.
Ketika diinjeksikan, temperaturnya masih sangat panas, yaitu 150 derajat Celcius.
Head pf Public Relations PGE Area Lahendong, Bagus Dimas Wicaksono, mengatakan, menjaga sumur produksi maupun reinjeksi dari material lain, seperti air tanah, juga sangat penting.
Air justru berpotensi menurunkan suhu fluida dan gas di dalam bumi.
“Ini penting, karena karakter panas bumi di Sulut adalah 95 persen fluida dan 5 persen gas,” kata dia.
Pemanfaatan panas bumi di Sulut pun masih bisa berkembang lebih jauh.
Namun, data PGE Area Lahendong menunjukkan, pemanfaatan panas bumi untuk listrik di sistem Sulutgo melambat.
Tren ini ditengarai akibat pandemi Covid-19.
Namun, pengelola PLTP Lahendong di sisi PLN berkomitmen untuk terus meningkatkan layanannya.
Hal ini telah diwujudkan dengan perombakan material komponen pembangkit untuk beradaptasi dengan sifat gas yang sangat korosif akibat kandungan silika.
“Kami sering menghadapi masalah berupa kualitas uap yang di luar standar. Karenanya, kami memiliki empat analis kimia yang terus memonitor uap yang masuk ke pembangkit kami. Kami rutin memberikan treatment (perawatan) kepada uap serta air pendingin sehingga keandalan pembangkit tetap terjaga,” kata Wahib. [non]