Jakarta.WAHANANEWS.CO - Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo–Gibran mendorong langkah strategis pada pemerintah untuk memanfaatkan potensi besar yang selama ini terabaikan, yakni 13 sungai dan 76 anak sungai di wilayah DKI Jakarta, sebagai sumber air baku untuk mendukung pengelolaan kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur.
Dorongan ini menjadi bagian dari upaya mewujudkan Jakarta dan wilayah penyangganya sebagai “kota global berkelanjutan”, yang tidak lagi bergantung hampir sepenuhnya pada pasokan air dari luar daerah.
Baca Juga:
Gubernur DKI Luruskan Isu Dana Mengendap Rp14,6 T: Buat Bayar Kewajiban Akhir Tahun
Menurut MARTABAT Prabowo–Gibran, situasi saat ini menunjukkan paradoks yang memprihatinkan. Di satu sisi, Jakarta memiliki kekayaan sumber daya air permukaan yang melimpah; namun di sisi lain, seluruh sungai tersebut justru tercemar limbah dan tidak layak diolah menjadi air minum.
Ketergantungan terhadap air baku dari Waduk Jatiluhur dan Bendungan Karian di Banten bukan hanya berisiko tinggi, tetapi juga menyalahi prinsip kemandirian sumber daya.
Ketua Umum MARTABAT Prabowo–Gibran, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah perlu memiliki visi besar dalam tata kelola air perkotaan.
Baca Juga:
Kualitas Udara Jakarta Masuk Kategori Tidak Sehat, Terburuk Kelima di Dunia
Menurutnya, jika Jakarta ingin benar-benar bertransformasi menjadi kota global, maka pengelolaan air harus menjadi urusan strategis lintas wilayah, bukan sekadar proyek teknis.
“Pemerintah seharusnya memandang sungai sebagai aset nasional, bukan sebagai beban lingkungan. Dengan penerapan teknologi ramah lingkungan dan kolaborasi antarwilayah aglomerasi, air dari sungai-sungai Jakarta sebenarnya bisa diolah kembali menjadi sumber air baku berkualitas,” ujar Tohom di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Ia menjelaskan, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan audit kualitas air dan revitalisasi total sungai-sungai utama.
Program normalisasi sungai yang selama ini berorientasi pada pengendalian banjir harus dikembangkan menjadi program multipurpose, yakni pengendalian banjir sekaligus penyediaan air bersih dan ruang hijau publik.
“Kalau Jepang bisa memulihkan Sungai Sumida yang dulu tercemar berat menjadi sumber air bersih perkotaan, mengapa Jakarta tidak bisa?” tambah Tohom dengan nada optimis.
Menurut Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini, pemanfaatan sungai-sungai Jakarta harus dikaitkan langsung dengan rencana besar pembangunan kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur.
Ia menyebut, wilayah aglomerasi ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa koordinasi sumber daya air, energi, dan transportasi yang terintegrasi.
“Aglomerasi tanpa pengelolaan air terpadu itu mustahil. Pemerintah harus berpikir secara regional. Air baku dari sungai di Jakarta bisa disaring dan disalurkan ke Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Bogor. Ini bentuk nyata dari konsep aglomerasi yang sesungguhnya,” jelasnya.
Tohom juga menyoroti fakta bahwa 70 persen jaringan pipa air di Jakarta telah berusia lebih dari 25 tahun. Kondisi ini memperburuk kehilangan air (non-revenue water) yang mencapai hampir separuh dari total distribusi.
Oleh karena itu, ia mendesak agar pemerintah mempercepat modernisasi infrastruktur air perkotaan sekaligus mengembangkan teknologi pengolahan air berbasis smart purification system.
“Jakarta tidak boleh terus bergantung pada air kiriman. Kita harus belajar mandiri. Teknologi water recycling, urban aquifer recharge, dan sistem kota spons seharusnya sudah diterapkan sekarang, bukan besok,” tegas Tohom.
Lebih jauh, ia menilai bahwa kemandirian air bukan hanya isu teknis, tetapi juga simbol kedaulatan perkotaan.
Dalam konteks pembangunan nasional yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kebijakan air harus menjadi bagian dari agenda besar reformasi tata kelola sumber daya alam Indonesia.
“Air itu urusan peradaban. Kalau Prabowo–Gibran ingin Jakarta menjadi kota global, maka air bersih adalah fondasinya. Tak ada kota dunia yang besar tanpa sistem air yang kuat, efisien, dan berdaulat,” pungkas Tohom.
Ia berharap pemerintah segera membentuk Badan Koordinasi Aglomerasi Air Nasional, yang bertugas mengatur kebijakan lintas daerah dan mendorong investasi di bidang teknologi air perkotaan.
Dengan sinergi antarlembaga dan komitmen jangka panjang, Tohom yakin, Jakarta bisa kembali hidup dari sungainya sendiri, bukan dari air kiriman.
[Redaktur: Mega Puspita]