WahanaNews - Jakarta | Skema power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) akan hanya menguntungkan pihak swasta dan bisa merugikan masyarakat.
Untuk itu, Pengamat Energi dari Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean mendesak pemerintah untuk secara tegas mencoret klausul power wheeling dari RUU EBT.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Ferdinand menilai, dengan adanya skema power wheeling maka akan memberikan keleluasaan kepada swasta untuk mengambil keuntungan dengan menjual listrik langsung ke masyarakat.
Sehingga menurutnya, skema power wheeling ini melanggar amanat konstitusi UUD 1945 tentang kedaulatan energi yang semestinya untuk hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ditambah, dalam proses menyalurkan listrik yang dijual ke masyarakat, swasta diperbolehkan menggunakan infrastruktur eksisting milik PLN. Padahal, infrastruktur kelistrikan selama ini dibangun menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan bersumber dari kapital Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun utang.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
"Yang pasti bahwa klausul power wheeling ini jelas akan menguntungkan pihak swasta. Karena swasta akan langsung menarik konsumen dengan menggunakan infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah," ujar Ferdinand.
Ia menambahkan, pengembangan pembangkit berbasis energi bersih bakal menjadi ceruk bisnis yang menarik dan akan berkembang pesat ke depan.
Sayangnya, melalui skema power wheeling justru akan membuat potensi pengembangan EBT ini yang semestinya bisa menguntungkan negara justru akan merugikan.
Selama ini, aset transimisi dan distribusi dibangun dengan didanai APBN dan kapital internal. Dengan skema power wheeling artinya pihak swasta bisa memakai infrastruktur ini tanpa berinvestasi dan justru yang akan menikmati pertumbuhan pembangkit EBT yang marak di masa mendatang.
"Sementara kalau swasta menggunakan ini karena ada bahasa wajib, mereka tidak ikut menanggung biaya pembangunan infrastruktur. Dengan hal ini pemerintah harus mengkaji lebih jauh terkait skema power wheeling ini," ujar Ferdinand.
Prinsip sharing burden yang tak terjadi, lanjutnya, justru bakal menjadi buah simalakama bagi pemerintah karena pemasukan kepada pemerintah berpotensi berkurang dan akan berdampak pada masyarakat selaku pemakai listrik.
Apalagi, semestinya listrik yang merupakan hak dasar masyarakat bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan harga yang terjangkau.
"Saya sangat berharap pemerintah membatalkan RUU ini kemudian mengevaluasi ulang dan mengeluarkan poin poin yang memang akan merugikan," tegasnya.[mga]