Sementara Edison Matondang (34), yang sudah mengarap lahan sejak tahun 2016 lalu, dengan luasan sekitar 6 hektare harus menerima ancaman dari Reno Cs dan rekan-rekannya yang mengaku anggota Polda dan mengatakan lahannya sudah dibeli oleh Manurung. Reno Cs juga membawa massa sekitar 50 (lima puluh) orang, terang Edison sambil menahan air mata.
“Sebelum terjadinya kesepakatan pembayaran ada kontak fisik antara saya dan orang Reno yang mengaku orang Polda Pekanbaru, sambil memegang dada saya dan yang mengaku orang Polda tersebut berkata: kenapa kamu halangi anggota saya untuk bekerja, lahan ini sudah saya beli ke Reno,” terang Edison Matondang, menirukan saat kejadian tersebut.
Baca Juga:
Unjuk Rasa Kawal Putusan MK di Makassar, 2 Mahasiswa Jadi Tersangka
Setelah perusakan, lanjut Edison, yang Reno Cs telah lakukan pada bulan Maret lalu, datanglah orang yang bernama Fahmi yang saya kenal sebagai orang kontaktor dari Reno Cs (pensuplai/ penyedia axcavator) dan ada kesepakatan akan diganti rugi sebesar Rp29.900.000,- dan sepakat menerima ganti rugi tersebut namun pada kenyataannya tidak sesuai dari kesepakatan awal.
“Pembayaran dilakukan 2 kali, yang pertama Rp5.000.000,- Pembayaran ke dua dilakukan sebesar Rp2.000.000,- dengan cara pembayaran secara transfer melalui HP Fahmi dengan alasan tidak memiliki uang cash. Sebelum lunas, sawit saya sudah ditumbang habis oleh kelompok Reno Cs. Dari Maret sampai sekarang belum ada pembayaran kembali dan sampai saat ini tidak bisa ditemui. Ketika saya telepon Fahmi menanyakan sisa pembayaran beliau berkata: kalau abang tidak mau menerima uang yang Rp7 juta itu, maka uang dan lahan akan kami ambil,” terang Edison sambil meniru perkataan Fahmi saat di telepon.
Menangapi hal tersebut, Ketua Badan Pemantau Dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (BP2 Tipikor), Agustinus Petrus Gultom SH menjelaksan, wilayah Riau, termasuk di Kampung D.30 Bengkalis masih marak praktik percaloan dan mafia tanah.
Baca Juga:
300 Pedemo Disebut Polisi Sudah Dipulangkan, 1 Masih Pendalaman
Modusnya berbeda-beda, antara lain mengaku-ngaku itu tanah adatnya, merusak lalu mengusir penggarap sawit, hingga membodohi calon pembeli mesti lahan yang dijual ada penggarapnya. Otak pelakunya tidak pernah jera dan terkesan kebal hukum, terang Agus Gultom sapaan akrabnya.
“Kami menerima pengaduan puluhan warga yang menjadi korban pengerusakan di Kampung D.30. Bahkan ada yang dijanjikan dibayar per pohon Rp500 ribu, setelah semua pohon sawitnya di tumbang dan batangnya di kubur menutupi indikasi tindak kejahatannya, korban belum juga menerima ganti rugi. Para korban mengatakan, para pelaku dalam melakukan aksinya kerapkali membawa puluhan masa. Tak hanya itu, bila setiap penggarap yang lahan dan sawitnya tidak mau dikuasai, mereka bersedia memberikan Surat Adat Tanah Ulayat dengan harga puluhan juta persuratnya,” katanya geram.
Kami akan melakukan perlawanan, lanjut Agus Gultom, agar para terduga pelaku tidak lagi semena-mena dan mencegah adanya korban lain, termasuk meminta aparat terkait membongkar dugaan sindikat ini.