WahanaNews-Jakarta | Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, buka suara soal rapor merah 4 Tahun Gubernur Anies Baswedan yang diberikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Politikus Gerindra ini pun mengingatkan LBH Jakarta untuk tidak sembarangan memberi penilaian terhadap kinerja pemerintah tanpa melihat fakta di masyarakat.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
"Kami ingatkan, siapapun boleh memberikan penilaian atas kinerja, tetapi mohon juga diperhatikan, dilihat fakta dan datanya," ucapnya, Selasa (19/10/2021).
Menurut Ariza, Gubernur Anies Baswedan sudah membuat perubahan besar di DKI Jakarta.
Sejak menjabat sebagai orang nomor satu di DKI pada 2017 lalu, Anies dinilai sudah mengubah wajah ibu kota menjadi lebih baik.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
"Jakarta makin tertata, ini bisa dilihat dari penghargaan-penghargaan yang diterima oleh Pemprov, oleh Pak Gubernur," ujarnya di Balai Kota.
Untuk itu, Ariza menyarankan agar LBH Jakarta menanyakan langsung kepada masyarakat pandangan mereka soal pembangunan di Jakarta.
Dengan demikian, LBH bisa mendapatkan gambaran jelas soal pembangunan Jakarta di era kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan.
"Tanyakan kepada warga, masyarakat Jakarta bagaimana sesungguhnya progres perkembangan Jakarta yang semakin membaik ini," kata Ariza.
Diberitakan sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta memberi 10 catatan merah 4 Tahun Gubernur Anies Baswedan memimpin ibu kota.
Hal ini disampaikan saat sejumlah perwakilan LBH menyambangi kantor Anies di Balai Kota Jakarta.
Rapor merah bertajuk “Jakarta Tidak Maju Bersama” itu disampaikan perwakilan LBH kepada Asisten Pemerintahan (Aspem) Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko.
"LBH Jakarta menyoroti 10 permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta, serta refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan di DKI Jakarta," ucap pengacara publik LBH, Charlie Albajili, Senin (18/10/2021).
Berikut rincian 10 catatan rapor merah 4 Tahun Gubernur Anies:
1. Buruknya Kualitas Udara Jakarta
Kualitas udara Jakarta dianggap sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999.
Selain itu, kualitas udara ibu kota juga disebut LBH tak lagi sesuai dengan BMUA DKI Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di DKI Jakarta.
"Hal ini disebabkan oleh abainya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan," ujarnya di Balai Kota.
2. Sulitnya Akses Air Bersih di Jakarta Akibat Swastanisasi
Charlie mengatakan, permasalahan ini kerap ditemui pada warga yang tinggal di pinggiran ibu kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan masyarakat tidak mampu.
Selain aksesnya yang sulit, kualitas air di ibu kota juga dianggap buruk, sehingga tidak layak digunakan atau dikonsumsi masyarakat.
"Pasokan air yang kerap terhambat akibat kecilnya daya jangkau air, mutu/kualitas air yang buruk, dan memburuknya kualitas air tersebut tentu saja akan berakibat pada air yang tidak layak digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat," ujarnya.
3. Penanganan Banjir
Pemprov DKI dianggap belum bisa menangani masalah banjir sampai ke akarnya.
Pasalnya, penanganan banjir selama ini hanya fokus pada aliran sungai di wilayah Jakarta dengan menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir lewat betonisasi.
Padahal, ada beberapa tipe banjir, yaitu banjir karena hujan lokal, banjir kiriman hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur, dan banjir kombinasi.
"Pada beberapa Peraturan Kepala Daerah pun masih ditemukan potensi penggusuran dengan adanya pengadaan tanah di sekitar aliran sungai," tuturnya.
4. Penataan Kota yang Belum Partisipatif
Penataan kota dengan pendekatan partisipasi warga atau Community Action Plan (CAP) merupakan bagian dari 23 janji kampanye Anies.
Salah satu contoh penerapannya ialah pembangunan Kampung Akuarium di wilayah pesisir utara Jakarta.
Namun, dalam penerapannya, LBH Jakarta menilai penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium.
5. Ketidakseriusan Pemprov DKI dalam Memperluas Akses terhadap Bantuan Hukum
Hal ini disorot LBH lantaran tidak adanya aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah (Perda) di DKI Jakarta.
"Kekosongan aturan inilah melahirkan berbagai dampak seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui APBD," ucapnya.
"Serta penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum," tambahnya, menjelaskan.
6. Sulitnya Memiliki Tempat Tinggal di Jakarta
Program rumah DP 0 Rupiah yang digadang-gadang sejak masa kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 lalu menjadi sorotan LBH.
Pasalnya, Anies sempat menargetkan bakal membangun 232.214 unit rumah DP 0 Rupiah bagi warganya.
Kemudian, target itu mendadak direvisi Gubernur Anies Baswedan menjadi hanya 10 ribu unit.
Ketentuan soal pembelian rumah DP 0 Rupiah ini pun diubah dari awalnya dikhususkan bagi warga berpenghasilan Rp 4 juta sampai Rp 7 juta, menjadi Rp 14 juta.
"Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye," ujarnya.
7. Belum Ada Intervensi Signifikan Terkait Permasalahan Warga di Pesisir dan Pulau Kecil
LBH Jakarta menilai, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah lain.
Pasalnya, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.
Alih-alih menetapkan kebijakan yang menempatkan warga pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai aktor utama, draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov dinilai justru berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.
8. Penanganan Pandemi Masih Setengah Hati
Capaian 3T (testing, tracing, dan treatment) yang dilakukan Pemprov DKI di masa krisis dinilai LBH Jakarta sangat rendah.
Padahal, DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19.
"Pelaksanaan vaksinasi untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak tidak berhak," tuturnya.
Pemprov DKI juga dianggap gegabah lantaran melakukan pelonggaran dengan membuka mal pada Agustus 2021 dan membuka mengizinkan anak di bawah 12 tahun melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
Padahal kala itu positivity rate Covid-19 masih berada di atas lima persen.
"Hal ini diperburuk dengan buruknya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti," kata Charlie.
"Di situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI belum memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi," sambungnya.
9. Penggusuran Paksa Masih Menghantui Warga Jakarta
LBH Jakarta menilai, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta.
Sebab, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 207 Tahun 2016 yang dibuat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok masih dipertahankan Anies.
Adapun aturan itu berisi tentang penertiban pemakaian atau penguasaan tanah izin.
Aturan itu sebelumnya kerap dijadikan landasan hukum bagi Ahok dalam melakukan penggusuran.
"Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM," ucapnya.
Charlie menyebut, Pergub itu kini masih digunakan Anies untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga di Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.
10. Reklamasi
Gubernur Anies Baswedan dinilai tidak konsisten dengan janji kampanye lantaran masih ada indikasi reklamasi tetap dilanjutkan.
Indikasi ini muncul setelah Anies menerbitkan Pergub Nomor 58/2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Pergub ini menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai 'perusahaan mitra'," tuturnya.
Problem lain muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera.
Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan.
Selain itu pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan 3 pulau lainnya.
Alhasil, gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi.
Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat Mahkamah Agung untuk gugatan Pulau H, namun kalah di gugatan lain seperti Pulau F dan Pulau G.
"Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick belaka," kata dia. [non]