Jakarta.WAHANANEWS.CO - MARTABAT Prabowo–Gibran menilai kondisi biaya transportasi di kawasan aglomerasi Jabodetabekjur semakin tidak ideal dan berpotensi menghambat mobilitas masyarakat kelas pekerja.
Organisasi relawan ini menegaskan bahwa kualitas sebuah kawasan metropolitan menuju standar kota global sangat ditentukan oleh efisiensi dan keterpaduan moda transportasi publiknya, sehingga integrasi transportasi di Jabodetabekjur kini menjadi kebutuhan mendesak.
Baca Juga:
Stasiun Tanah Abang Dioperasikan, MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong Transformasi Transportasi Publik di Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur
Ketua Umum Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo–Gibran, KRT Tohom Purba, menyatakan bahwa persoalan tingginya biaya transportasi di Jabodetabekjur sudah lama menjadi alarm peringatan bahwa ekosistem mobilitas kawasan tersebut belum bekerja secara terpadu.
“Jika cost transportasi menjadi beban yang memakan hingga sepertiga penghasilan masyarakat, itu berarti struktur mobilitas kawasan kita belum sehat. Transportasi massal yang tidak terintegrasi akan selalu membuat ongkos perjalanan semakin mahal,” ujar Tohom, Selasa (3/12/2025).
Tohom menjelaskan bahwa data BPS yang menunjukkan biaya transportasi di Bekasi, Depok, dan Jakarta sebagai yang tertinggi di Indonesia adalah bukti bahwa konsep aglomerasi Jabodetabekjur belum ditopang oleh sistem transportasi yang dirancang utuh dari hulu ke hilir.
Baca Juga:
Kereta Cepat Whoosh: Untungnya Buat Meraka, Ruginya - Konsumen Harus Nanggung?
“Masalahnya bukan semata soal ada bus, kereta, atau LRT, tetapi bagaimana perjalanan dari awal sampai akhir dirancang agar terjangkau dan efisien. Tanpa integrasi tarif, integrasi rute, dan pembenahan biaya perjalanan awal, masyarakat akan terus membayar mahal,” katanya.
Menurut Tohom, pembentukan kawasan kota global memerlukan tiga syarat utama dalam aspek transportasi: keterhubungan antarkota yang seamless, tarif yang rasional, dan perpindahan moda yang mudah tanpa biaya tambahan yang membengkak.
“Jika Jabodetabekjur ingin naik kelas menuju kota global, maka mobilitas warganya harus dirancang seperti mobilitas urban world-class: cepat, murah, dan saling terhubung,” jelasnya.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa persoalan biaya perjalanan awal (first mile) yang sering lebih mahal dari tarif kereta adalah gambaran bahwa tata kelola mobilitas kawasan masih parsial.
“Kita tidak bisa membangun kota global di atas struktur mobilitas yang fragmentatif. First mile seharga Rp25.000 sementara tarif kereta hanya Rp3.500 adalah anomali kebijakan yang harus segera dibenahi,” tegasnya.
Ia pun menggarisbawahi perlunya grand design transportasi Jabodetabekjur yang disusun secara lintas-pemerintahan, lintas-otoritas, dan lintas-BUMN.
Menurutnya, integrasi harus melibatkan Kemenhub, Pemprov DKI, pemerintah daerah satelit, operator transportasi, serta sektor swasta agar hasilnya konsisten dan tidak berjalan sendiri-sendiri.
“Subsidi besar yang diberikan Pemprov DKI harus disinergikan dengan kebijakan nasional dan daerah penyangga. Tanpa itu, mobilitas warga akan tetap terjebak dalam biaya tinggi yang tidak perlu,” ucapnya.
Tohom menilai bahwa momentum transformasi transportasi harus dilakukan sekarang, mengingat kawasan Jabodetabekjur sudah memasuki fase “kemacetan struktural” yang tidak lagi dapat diatasi hanya dengan penambahan angkutan atau pembangunan jalan.
“Kita butuh keberanian merancang ulang seluruh sistem mobilitas Jabodetabekjur. Ini adalah jalan satu-satunya jika kita ingin menjadi kawasan metropolitan yang berkelas global,” pungkasnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]