Jakarta.WAHANANEWS.CO - Respons tegas disampaikan Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo–Gibran terhadap rencana pembangunan MRT Jakarta koridor Timur–Barat.
Organisasi ini menilai proyek tersebut semakin mendesak untuk direalisasikan sebagai langkah strategis mengantisipasi kemacetan parah di kawasan aglomerasi Jabodetabekjur yang diproyeksikan mencapai titik kritis pada 2030.
Baca Juga:
Dukung Kota Global Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur yang Modern, MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong Publik Figur Gunakan Moda Transportasi Umum
MARTABAT memandang koridor Timur–Barat merupakan tulang punggung baru mobilitas perkotaan.
Dengan proyeksi ratusan ribu penumpang per hari dan konektivitas lintas wilayah, jalur ini dinilai mampu mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi serta menekan beban lalu lintas di pusat dan pinggiran kota.
Ketua Umum Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo–Gibran, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa MRT Timur–Barat adalah kebutuhan struktural, bukan pilihan.
Baca Juga:
Didukung Pihak Swasta, MARTABAT Prabowo-Gibran Apresiasi Dimulainya Rencana Pembangunan MRT Jakarta–BSD demi Realisasi Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur
Menurutnya, tanpa percepatan pembangunan transportasi massal berkapasitas besar, kawasan aglomerasi Jabodetabekjur akan menghadapi kemacetan sistemik yang berdampak langsung pada produktivitas nasional.
“Jika kita bicara 2030, maka yang dihadapi bukan lagi macet harian, tetapi stagnasi pergerakan orang dan barang. MRT Timur–Barat harus diposisikan sebagai solusi jangka panjang yang menyelamatkan waktu, energi, dan biaya sosial masyarakat,” ujar Tohom, Minggu (21/12/2025).
Ia menilai integrasi jalur Timur–Barat dengan lintasan Utara–Selatan di Stasiun Thamrin akan menciptakan simpul transportasi strategis yang mempercepat pergerakan lintas kota.
Dengan proyeksi penumpang harian mencapai sekitar setengah juta orang, MRT Timur–Barat diyakini menjadi backbone transportasi massal Jakarta dan sekitarnya.
“Transportasi publik yang andal adalah prasyarat kota berdaya saing global. MRT Timur–Barat akan mengubah pola mobilitas warga dari individual ke kolektif, dari boros energi ke efisien,” katanya.
Tohom juga menyoroti pentingnya pendekatan Transit-Oriented Development (TOD) yang menyertai pembangunan MRT.
Menurutnya, TOD akan menciptakan ekosistem perkotaan yang lebih manusiawi, ramah pejalan kaki, serta terintegrasi antarmoda.
“Ini bukan hanya rel dan kereta, tapi peradaban kota. Ketika stasiun menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial, maka kemacetan bisa ditekan secara alami,” ucapnya.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa pembangunan MRT Timur–Barat harus dilihat dalam kerangka pengelolaan kawasan aglomerasi secara menyeluruh.
Ia mengungkapkan perlunya koordinasi lintas daerah -- DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten -- agar perluasan jalur ke wilayah penyangga seperti Cikarang hingga Balaraja dapat berjalan efektif dan berkeadilan.
“Masalah aglomerasi tidak bisa diselesaikan secara parsial. MRT Timur–Barat harus menjadi proyek bersama yang menyatukan visi pusat dan daerah demi keberlanjutan mobilitas jutaan warga,” tegasnya.
MARTABAT Prabowo–Gibran berharap percepatan proyek ini mendapat dukungan kebijakan yang kuat, termasuk skema pendanaan inovatif dan kepastian regulasi.
Dengan demikian, MRT Timur–Barat tidak hanya menjadi solusi Jakarta, tetapi model nasional dalam menghadapi tantangan urbanisasi dan kemacetan di kota-kota besar Indonesia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]