WAHANANEWS.CO, Jakarta - Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran menilai pembangunan apartemen di sekitar stasiun MRT dan LRT merupakan langkah strategis menuju terciptanya aglomerasi metropolitan Jabodetabekjur yang modern, efisien, dan berdaya saing global.
Hunian vertikal berbasis Transit Oriented Development (TOD) dipandang sangat tepat untuk menjawab tantangan kemacetan dan kebutuhan konektivitas antarkota.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
“Jika kita ingin Jabodetabekjur menjadi kota global yang ‘serba cepat’, maka pembangunan hunian yang terintegrasi langsung dengan moda transportasi massal seperti MRT dan LRT adalah keharusan, bukan pilihan,” ujar Ketua Umum DPP MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, saat dimintai tanggapan di Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Tohom menjelaskan bahwa kawasan-kawasan seperti Cilandak, Fatmawati, dan Sudirman telah menunjukkan dampak positif dari pengembangan TOD, baik dari sisi mobilitas maupun pertumbuhan nilai properti.
Menurutnya, sejumlah apartemen seperti Branz Simatupang, Arumaya, dan Anandamaya sebagai contoh konkret bagaimana konektivitas menentukan kualitas hunian.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
“Ini soal efisiensi hidup. Masyarakat bisa berjalan kaki ke stasiun, mengakses kantor atau pusat kota tanpa harus terjebak macet. Ini bukan hanya menghemat waktu dan biaya, tapi juga mendongkrak produktivitas warga urban,” jelasnya.
Menurut Tohom, investasi properti kini mulai bergeser ke kawasan-kawasan yang terintegrasi langsung dengan simpul transportasi publik.
Ia menilai, pembangunan apartemen dekat MRT bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berperan dalam menciptakan kota yang lebih sehat dan ramah lingkungan.
“Transportasi massal seperti MRT dan LRT itu menjadi urat nadi aglomerasi. Hunian yang terletak di dekatnya adalah bentuk adaptasi perkotaan yang benar. Kalau semua pemangku kepentingan sepakat, kita bisa ubah wajah Jabodetabekjur dalam satu dekade ke depan,” tegas Tohom.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengingatkan bahwa pengembangan kawasan aglomerasi tidak bisa dilakukan secara parsial.
Ia menyebutkan perlunya pendekatan sistemik yang melibatkan kolaborasi lintas wilayah, khususnya antara Jakarta, Bodetabek, hingga Cianjur sebagai bagian dari satu ekosistem metropolitan.
“Jabodetabekjur bukan sekadar gabungan kota. Ini satu tubuh, satu ritme. Maka, kebijakan hunian, transportasi, dan infrastruktur harus dibangun dengan satu visi yang menyatukan semua elemen kawasan. Jangan biarkan wilayah pinggiran tertinggal hanya karena perencanaan pusat belum sinkron dengan daerah,” kata Tohom yang juga dikenal sebagai pengamat kebijakan metropolitan.
Ia pun mendorong adanya percepatan regulasi dan penyederhanaan perizinan untuk proyek-proyek hunian TOD agar tidak terhambat oleh tumpang tindih kewenangan atau lambannya birokrasi.
“Kalau izinnya bisa dipercepat, kita bisa lihat proyek-proyek serupa Anandamaya atau Thamrin Residence juga berdiri di Cibubur, Serpong, atau bahkan Depok dan Karawang. Kita harus keluar dari pola sentralisasi Jakarta saja,” tambahnya.
Tohom menilai bahwa kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, pengembang swasta, dan masyarakat sipil adalah prasyarat mutlak untuk mendorong aglomerasi Jabodetabekjur menjadi kota dunia.
“Kita punya modal: penduduk besar, jaringan MRT–LRT yang mulai terbentuk, dan kesadaran publik yang makin tinggi. Tinggal bagaimana kemauan politik dan keberanian eksekusi diwujudkan. Karena kota global tak menunggu, ia dibangun hari ini,” tandasnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]