JAKARTA. WAHANANEWS.CO – Maraknya kasus penolakan dan pemulangan paksa para pasien BPJS Kesehatan oleh rumah sakit adalah puncak dari gunung es kebermasalahan mutu jaminan kesehatan nasional kita.
Terkait hal tersebut, Pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng memberi pernyataan publik sebagai bagian dari tugas pengawasan.
Baca Juga:
Kementerian PU dan Ombudsman RI Perkuat Kolaborasi untuk Pelayanan Publik Optimal
Menolak atau memulangkan pasien yang masih membutuhkan pertolongan medis merupakan bentuk telanjang maladministrasi layanan kesehatan.
“Fasilitas kesehatan jelas melanggar regulasi jika menolak pasien dalam kondisi gawat darurat, merujuk Pasal 174 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023. Kami menerima ragam pengaduan dan konsultasi ikhwal penolakan dan penundaan berlarut layanan gawat darurat, tidak memberikan layanan rawat inap tepat waktu, kuota waktu dan diskriminasi layanan medis yang dialami pasien BPJS. Muaranya pihak pasien yang dirugikan, termasuk hingga meninggal dunia," ucapnya di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (09/6/2025).
Untuk itu, Robert menyampaikan beberapa hal yang harus diperbaiki.
Baca Juga:
Ombudsman Sumbar Minta Sekolah Tidak Gelar Perpisahan Kelas XII Secara Berlebihan
Semua upaya perbaikan ke depan harus berdiri di atas kesadaran: nasib publik adalah sentral dari paradigma kerja Pemerintah/Pemda, BPJS dan Puskesmas/Rumah Sakit, serta hukum tertinggi dalam layanan publik adalah keselamatan rakyat, termasuk dan terutama keselamatan nyawa setiap pasien dalam layanan kesehatan.
Pertama, Pemerintah/pemda harus tegas dalam penegakan hukum dan penerapan sanksi administratif terhadap rumah sakit yang menolak atau memaksa pasien yang dipaksa pulang.
“Merujuk Permenkes Nomor 47 Tahun 2018, tidak ada jika ada 'dalil” rumah sakit dapat memulangkan pasien secara prematur, atau batasan waktu (kuota) jumlah hari layanan.
Pasien kategori triase hijau pun harus dalam kondisi yang sudah tak memerlukan perawatan baru bisa diperbolehkan pulang," terangnya.