WahanaNews Jakarta | Isu mengenai prediksi akan tenggelamnya Jakarta dalam 10 tahun ke depan masih menjadi pembahasan para ahli.
Namun, tahukah Anda bahwa harga tanah atau lahan untuk rumah di perkotaan, terutama Jakarta, semakin mahal.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Hal ini tentunya membuat masyarakat kelas menengah ke bawah sulit menjangkaunya.
Dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, menegaskan, masyarakat harus kritis dalam menanggapi isu ini.
Dia menekankan, penurunan muka tanah di Kota Jakarta sebenarnya sudah terjadi sejak 1997.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Hasil ini didapat dengan melakukan pemodelan penurunan muka tanah menggunakan teknologi LIDAR (Light Detection and Ranging).
Bersamaan itu, data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) hingga 30 September 2021, angka backlog perumahan atau kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan mencapai tidak kurang dari 11 juta unit.
"Kondisi housing backlog memang sangat serius dan tidak realistis," kata Chairperson of Green Building Council Indonesia, Iwan Priyanto, dalam diskusi virtual Indonesia Housing Forum, Kamis (14/10/2021).
Harga Lahan di Jakarta
Iwan menjelaskan, berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, terdapat peta sebaran terkait nilai bidang tanah yang digunakan untuk membangun rumah.
"Ini peta sebaran harga tanah dari BPN, biasanya harga BPN di atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tapi di bawah harga pasar," ujarnya.
Untuk wilayah dengan warna hijau muda, harga tanah berada pada kisaran Rp 100.000 - Rp 500.000 per meter persegi.
Itu pun berada di wilayah pinggiran Jakarta dan luasnya sangat kecil.
Sementara itu, wilayah yang berwarna hijau tua nilainya sekitar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per meter persegi.
Adapun wilayah Jakarta didominasi warna hijau tua hingga coklat.
Praktis, harganya semakin mahal.
Jika ditilik sekilas dalam peta tersebut, memang dalam suatu wilayah belum tentu menunjukkan nilai bidang tanah secara spesifik.
Karena di dalam suatu wilayah, nilai harganya berbeda-beda.
Ini hanya bisa dilihat dari perkiraan skala harga yang mendominasi.
Oleh karena itu, nilai tanah Rp 100.000 - Rp 500.000 per meter persegi sukar ditemukan di wilayah Jakarta.
Nilai tanah sebesar ini hanya bisa ditemukan di wilayah Tangerang, Bekasi, dan Depok.
Itu pun hanya sebagian kecil.
Sementara itu, wilayah lainnya dengan pembangunan fisik, baik infrastruktur maupun perumahan yang masif, nilai tanahnya bisa mencapai Rp 1.000.000 - Rp 2.000.000 per meter persegi.
Contohnya di Jatibening, Jatikramat, Kranji, Cipondoh Indah, Jatimulya, Pondok Pucung, Kunciran Jaya, Sudimara Pinang, Paninggalan Utara, Marunda, dan sebagainya.
Sedangkan tanah di wilayah Jelambar Baru, Krendang, Kota Bambu Selatan, Palmerah, Sukabumi Utara dan Selatan, Pondok Jaya, Rawa Buaya, Tegal Laut, dan sebagainya menyentuh nilai tanah Rp 5 juta - Rp 20 juta per meter persegi.
Kemudian Ancol, Serdang, Duren Tiga, Kedoya Selatan, Klender, Cakung Barat, Rawa Terate, Suka Pura, Jelambar, Tanjung Duren, dan sebagainya berada di level Rp 20 juta - Rp 50 juta per meter persegi.
Bergeser ke pusat Jakarta, seperti Senayan, Kebon Melati, Menteng, Pondok Pinang, Sunter Jaya, Kelapa Gading Barat, Kapuk Muara, Pluit, Kembangan Utara, dan sebagainya, harganya sudah bertengger di angka Rp 50 juta ke atas per meter persegi.
"Tanah senilai Rp 1 juta per meter persegi itu, aksesibilitasnya parah dan selebihnya sudah sangat tidak terjangkau. Apalagi middle low housing development, sangat tidak terjangkau transportasi publik," jelas Iwan.
Tantangan Wilayah Perkotaan Jakarta
Secara umum, tantangan dari wilayah perkotaan seperti Jakarta adalah land limitation atau lahan terbatas, populasi tinggi, dan kenaikan harga konstruksi.
"Kenaikan harga konstruksi ikut mengerek harga rumah, meski tidak separah land limitation dan population growth," imbuhnya.
Dengan kondisi itu, ditambah situasi pandemi dan pasca-pandemi, peluang ke depan lebih mengarah pada low emision urban development.
Hal ini diikuti oleh basis pengembangan konektivitas yang bukan semata-mata pada fisik, tapi bertumpu pada pengembangan kota lainnya.
Menurut Iwan, langkah itu akan membuat kota atau suatu daerah menjadi polycentric, berkembang secara lokal dan memungkinkan lebih banyak pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di berbagai tempat.
Dengan begitu, masyarakat tidak perlu berbondong-bondong ke Jakarta, cukup berada di daerahnya sendiri.
"Ada peluang untuk melakukan circular ekonomi lebih baik, mereduksi trafik, dan density atau kepadatan bisa dibuat lebih moderat," tandasnya. [non]