WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gerakan besar menuju energi bersih di kawasan aglomerasi Jabodetabekjur kini mendapat dukungan kuat dari Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran.
Melihat potensi besar energi surya dan pengolahan sampah sebagai sumber listrik masa depan, organisasi ini menilai langkah pemerintah daerah dan pusat dalam mendorong transisi energi hijau sudah berada di jalur yang tepat, namun perlu percepatan dan konsistensi kebijakan.
Baca Juga:
Emisi Kendaraan Makin Tinggi, Kualitas BBM Indonesia Tertinggal dari Standar Dunia,
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa gerakan menuju energi bersih bukan hanya urusan teknologi, melainkan juga kesadaran kolektif masyarakat urban.
“Jakarta dan kawasan aglomerasi sekitarnya adalah pusat emisi dan konsumsi energi terbesar di Indonesia. Jika wilayah ini mampu memimpin transisi ke energi surya dan pengolahan sampah menjadi listrik, dampaknya akan luar biasa bagi kualitas udara dan keberlanjutan energi nasional,” ujarnya, Minggu (5/10/2025).
Tohom menilai arah kebijakan energi Jakarta sudah berpijak pada dasar yang kuat, terutama setelah diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Rencana Umum Energi Daerah.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran: Sampah Kini Jadi Rebutan, Bahkan Bisa Jadi Bahan Bangun Rumah
Dalam regulasi itu, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ditargetkan mencapai 200 megawatt peak (MWp) dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebesar 100 MWp pada 2050.
“Artinya, pemerintah sudah memetakan masa depan energi bersih yang sangat rasional, tinggal bagaimana kita mengakselerasi pelaksanaannya,” tegasnya.
Menurut Tohom, upaya ini bisa berjalan efektif jika kolaborasi lintas sektor diperkuat. Dunia usaha, BUMN, dan masyarakat harus dilibatkan bukan sekadar sebagai pengguna, tetapi juga sebagai pelaku aktif dalam investasi dan produksi energi bersih.
“Kalau kita hanya mengandalkan pemerintah, percepatan akan lambat. Tapi bila ekosistemnya dibangun bersama, maka transisi energi akan menjadi gerakan rakyat yang berkelanjutan,” jelasnya.
Tohom menyoroti bahwa pemanfaatan energi surya di Jakarta masih didominasi bangunan komersial berskala kecil dan menengah, sementara sektor rumah tangga belum banyak berkontribusi.
Ia mendorong adanya skema insentif seperti keringanan pajak, kredit hijau, atau potongan tarif listrik bagi rumah tangga yang memasang PLTS atap. “Kesadaran masyarakat perlu ditumbuhkan lewat insentif nyata. Ini bukan soal kemampuan, tapi soal keberpihakan kebijakan,” katanya.
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini menambahkan, pengolahan sampah menjadi energi listrik merupakan solusi ganda bagi kota besar seperti Jakarta.
Selain mengurangi timbunan sampah yang menekan lahan TPA, PLTSa mampu menyediakan sumber energi stabil yang tidak tergantung cuaca.
“Kombinasi antara tenaga surya dan sampah adalah masa depan energi perkotaan Indonesia. Ini bukan mimpi, ini kebutuhan,” ujarnya menegaskan.
Ia juga menilai, keterlibatan pemerintah daerah harus lebih agresif dalam mendorong pemanfaatan lahan-lahan non-produktif, seperti atap gedung pemerintahan, sekolah, atau fasilitas umum untuk PLTS.
“Kita punya banyak ruang publik yang bisa jadi pembangkit mini. Bayangkan kalau setiap kantor kelurahan punya PLTS, efeknya bukan hanya hemat biaya tapi juga simbol nyata perubahan gaya hidup energi,” tutur Tohom.
Menutup pernyataannya, Tohom menyebut transformasi energi bersih bukan semata proyek infrastruktur, tetapi juga proyek kesadaran.
“Energi surya dan listrik dari sampah bukan sekadar alternatif, tapi masa depan yang harus dimulai sekarang. Prabowo-Gibran punya visi keberlanjutan, dan kami di MARTABAT siap menjadi motor sosial dalam menggerakkan perubahan ini,” pungkasnya.
[Redaktur: RInrin Khaltarina]