Mereka menyoroti bahwa pembangunan jalur MRT, LRT, hingga bus rapid transit harus saling terhubung, bukan berjalan parsial.
“Transportasi massal hanya akan efektif jika ada integrasi penuh, dari jalur, tarif, hingga manajemen operasional,” imbuh Tohom.
Baca Juga:
Permudah Akses Antar Dusun dan Tingkatkan Produktivitas Perkebunan, Pemdes Hutagurgur Bangun Rabat Beton
Lebih jauh, Tohom menilai pemerintah perlu berani mengubah paradigma dalam melihat investasi infrastruktur.
Alih-alih menunggu ketersediaan dana penuh, model pembiayaan kreatif seperti skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) atau obligasi hijau (green bond) dapat didorong untuk mempercepat realisasi proyek.
“Kalau dihitung untung-rugi, setiap rupiah yang ditanamkan dalam transportasi massal akan kembali dalam bentuk penghematan waktu, energi, dan biaya kesehatan masyarakat. Jadi ini bukan soal bisa atau tidak, tetapi soal mau atau tidak,” jelasnya.
Baca Juga:
Trayek Kapal Cepat Banyuwangi–Denpasar Tertunda, Fokus Perbaikan Pelabuhan Serangan
Menurutnya, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek keadilan sosial dalam merancang transportasi massal. Infrastruktur modern harus bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu.
“Transportasi publik yang nyaman, aman, dan terjangkau akan membentuk budaya baru dalam mobilitas warga. Dari yang awalnya bergantung pada kendaraan pribadi, bergeser menjadi pengguna transportasi publik. Itu akan menjadi revolusi gaya hidup perkotaan,” tambah Tohom.
Di akhir pernyataannya, MARTABAT Prabowo-Gibran mengungkapkan bahwa tanpa keberanian untuk berinvestasi di transportasi massal, Jabodetabekjur akan terus terjebak dalam lingkaran setan kemacetan.