“Dulu kami kerja sama dengan Jakarta Post untuk menerjemahkan berita-berita dalam bahasa Inggris. Setiap hari cuma bisa tujuh berita yang diterjemahkan dan membayar Rp 70 juta per bulan. Sekarang dengan keberadaan AI ini lebih dari seratus berita bisa diterjemahkan dengan biaya per bulan kurang dari Rp 3,5 juta,” ujarnya.
Tri lebih lanjut menjelaskan meski AI bisa membantu pekerjaan jurnalistik wartawan, peran manusia sebagai kontrol tetap diperlukan lantaran AI tidak sepenuhnya memahami hal-hal detil pekerjaan jurnalistik.
Baca Juga:
Foto Bergaya Ghibli Kian Populer, Ini Cara Membuatnya Lewat ChatGPT
“Dan nggak semuanya bisa dikerjakan AI, namun tetap butuh manusia. Kayak kami di Kompas tetap butuh manusia sebagai kontrol untuk AI. Kenapa? Karena ada beberapa hal yang tak sepenuhnya dipahami AI,” tambahnya.
Oleh sebab itu, Tri menegaskan meski ada kekhawatiran, jurnalisme dan AI bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan harus saling melengkapi.
Namun demikian, Tri sangat yakin bahwa AI tidak akan sepenuhnya menggantikan pekerjaan manusia.
Baca Juga:
Hadapi Lonjakan Konektivitas Saat Ramadan dan Lebaran, Indosat Perkuat Jaringan dengan AI
“Untuk menghadapi AI, manusia harus tetap mengembangkan diri. Sebab, meskipun AI dapat meniru banyak hal, manusia memiliki keunikan yang tak tergantikan,” tegasnya.
Dihadapan peserta UKW, Tri kembali mengingatkan jika wartawan atau jurnalis tidak mengembangkan diri, maka ancaman akan muncul.
Itu sebabnya, kata Tri, kecerdasan buatan juga harus bisa menjadi bagian dari kolaborasi yang bisa mengembangkan media.