Oleh Timboel Siregar: Pengamat Ketenagakerjaan
JAKARTA.WAHANANEWS.CO - Lahirnya Surat Kementerian Sosial No.S-445/MS/DI.01/6/2025 tertanggal 3 Juni 2025 yang menonaktifkan 7.397.277 masyarakat miskin yang selama ini dijamin pelayanan kesehatannya oleh BPJS Kesehatan karena masuk DTKS, tentunya akan membuat masyarakat yang dinonaktifkan kecewa ketika akan menggunakan JKN ke Faskes dinyatakan kartu tidak aktif, sehingga mereka tidak dapat layanan dengan penjaminan JKN.
Baca Juga:
Layanan JKN Makin Mudah Diakses Warga Jakarta: Cukup Pakai NIK dan Mobile JKN
Peralihan data peserta PBI dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) memakan korban 7.397.277 masyarakat miskin.
Sampai saat ini, dan menjadi kebiasaan Kemensos, proses cleansing data yang dilakukan Kemensos dan Dinsos sesuai amanat PP No. 76 tahun 2015 tidak dilakukan secara obyektif sehingga penonaktifan 7.397.277 orang tersebut juga tidak valid.
Lalu penonaktifan ini tidak pernah diinformasikan langsung ke Masyarakat yang dinonaktifkan. Seharusnya Kemensos menginformasikannya sehingga Masyarakat yang dinonaktifkan memiliki hak untuk segera reaktivasi tanpa harus sakit terlebih dahulu.
Baca Juga:
Komitmen Layanan Tanpa Hambatan, Forum JKN Satukan Langkah Pemangku Kepentingan Jakarta Barat
Di Surat Kementerian Sosial No.S-445/MS/DI.01/6/2025, proses reaktivasi diposisikan pada saat Masyarakat ingin mendapatkan layanan Kesehatan, yang artinya bila sakit. Ini tidak tepat, karena mendaftarkan Masyarakat miskin ke JKN adalah amanat Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN dalam kondisi sehat. Lalu proses Reaktivasi melalui Aplikasi SIKS-NG (Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation) bukan solusi bagi Masyarakat miskin dan tidak mampu, yang memang memiliki keterbatas memiliki perangkat elektonik yang bisa mengakses SIKS-NG, dan memiliki kendala SDM untuk mengaksesnya.
Saya menilai penonaktifan 7.397.277 orang tersebut sarat dengan alasan penghematan anggaran iuran PBI yang memang di 2025 ini dialokasikan sebesar Rp 48,78 triliun (= 96,8 juta orang x Rp 42 ribu x 12 bulan).
Dengan penonaktifan 7.397.277 orang tersebut berarti BPJS Kesehatan akan berkurang menerima pendapatan iuran PBI JKN sebesar Rp 310.685.634.000 per bulan (= 7.397.277 orang x Rp 42.000).
Bila penonaktifan ini terus berlanjut berbulan-bulan maka akan semakin besar dana iuran PBI JKN yang tidak diterima BPJS Kesehatan.
Hal ini pastinya akan menyebabkan potensi defisit JKN akan semakin cepat terealisasi, rasio klaim akan semakin besar lagi, dan ini akan mengacam pelayanan JKN kepada seluruh rakyat, karena defisit JKN akan menyebabkan pembayaran klaim INA CBGs dan Kapitasi ke Fasilitas Kesehatan (faskes) terkendala, sehingga Faskes akan mengalami kesulitas membeli obat, membayar tenaga medis, tenaga Kesehatan, pekerja administrasi dan pekerja operasional lainnyan di Faskes, dan sebagainya.
Di tengah potensi defisit pembiayaan JKN di 2026, dan belum adanya sinyal kenaikan iuran PBI di tahun 2026, Pemerintah malah menurunkan pendapatan iuran JKN dari segmen PBI.
Penonaktifan ini pun bisa dimaknai sebagai cara Pemerintah untuk mengalihkan Rp 310.685.634.000 per bulan untuk kepentingan lain. Ini artinya terjadi penghianatan Pemerintah terhadap hak konstitusioal masyarakat miskin atas layanan kesehatannya.
Penonaktifkan 7.397.277 orang miskin ini akan menciptakan kegaduhan di faskes, sehingga yang akan disalahkan adalah faskes dan BPJS Kesehatan, sementara Kementerian Sosial yang menjadi biang keladi masalah tidak tersentuh protes masyarakat.
Untuk menghindari terjadinya kegaduhan dan defisit JKN lebih dalam, saya berharap. Kementerian Sosial membatalkan penonaktifan 7.397.277 orang miskin tersebut sebagai peserta PBI-JKN. Lakukan saja cleansing data yang obyektif sesuai amanat PP No. 76 Tahun 2015.
Saya berharap Presiden Prabowo mengevaluasi kebijakan Kementerian sosial ini, dan bila memang ada kepentingan lain yang membutuhkan dana sebaiknya dicarikan dari pos lain, jangan diambil dari pos iuran PBI yang memang menjadi hak Masyarakat miskin dan tidak mampu. Kembalikan Hak Konstitusional Rakyat Miskin dalam Program JKN.