“Kalau semua Pemda di Jabodetabekjur memiliki semangat yang sama, mobilitas masyarakat akan semakin lancar, ekonomi kawasan meningkat, dan kemacetan dapat ditekan melalui peralihan ke transportasi publik,” jelasnya.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa kebijakan transportasi publik seperti KLG sejatinya adalah bagian dari strategi membangun kota inklusif—di mana setiap warga memiliki hak yang sama untuk bergerak, bekerja, dan berpartisipasi dalam kehidupan kota.
Baca Juga:
PLN dan KAI Sepakat Elektrifikasi Jalur Kereta Api, Dukung Transportasi Publik Ramah Lingkungan
“Jakarta tidak bisa berdiri sendiri; mobilitas dan kehidupan ekonominya selalu beririsan dengan daerah-daerah penyangga. Karena itu, kebijakan seperti Kartu Layanan Gratis layak direplikasi dalam skala kawasan,” paparnya.
Ia juga menambahkan bahwa program seperti KLG berpotensi menekan biaya hidup masyarakat sekaligus mendorong transisi menuju transportasi ramah lingkungan.
“Kebijakan transportasi publik gratis tidak hanya soal subsidi, tapi investasi sosial jangka panjang. Saat masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke moda publik, kualitas udara membaik dan beban ekonomi keluarga menurun. Itu win-win solution,” ujar Tohom.
Baca Juga:
Utang Whoosh Sentuh Rp 116 Triliun, Pemerintah Siapkan Jalan Keluar Tanpa Sentuh APBN
Sebelumnya, PT Transjakarta mencatat telah mendistribusikan 5.729 Kartu Layanan Gratis (KLG) di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, serta menyiapkan 2.651 kartu tambahan untuk warga Jakarta Pusat.
KLG dapat digunakan untuk naik berbagai moda transportasi publik di Jakarta, seperti Transjakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan Transjabodetabek, secara gratis.
Program ini menyasar 15 golongan penerima manfaat, di antaranya penyandang disabilitas, lansia, veteran, pekerja bergaji UMP, dan pelajar penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP).