Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa persoalan biaya perjalanan awal (first mile) yang sering lebih mahal dari tarif kereta adalah gambaran bahwa tata kelola mobilitas kawasan masih parsial.
“Kita tidak bisa membangun kota global di atas struktur mobilitas yang fragmentatif. First mile seharga Rp25.000 sementara tarif kereta hanya Rp3.500 adalah anomali kebijakan yang harus segera dibenahi,” tegasnya.
Baca Juga:
Stasiun Tanah Abang Dioperasikan, MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong Transformasi Transportasi Publik di Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur
Ia pun menggarisbawahi perlunya grand design transportasi Jabodetabekjur yang disusun secara lintas-pemerintahan, lintas-otoritas, dan lintas-BUMN.
Menurutnya, integrasi harus melibatkan Kemenhub, Pemprov DKI, pemerintah daerah satelit, operator transportasi, serta sektor swasta agar hasilnya konsisten dan tidak berjalan sendiri-sendiri.
“Subsidi besar yang diberikan Pemprov DKI harus disinergikan dengan kebijakan nasional dan daerah penyangga. Tanpa itu, mobilitas warga akan tetap terjebak dalam biaya tinggi yang tidak perlu,” ucapnya.
Baca Juga:
Kereta Cepat Whoosh: Untungnya Buat Meraka, Ruginya - Konsumen Harus Nanggung?
Tohom menilai bahwa momentum transformasi transportasi harus dilakukan sekarang, mengingat kawasan Jabodetabekjur sudah memasuki fase “kemacetan struktural” yang tidak lagi dapat diatasi hanya dengan penambahan angkutan atau pembangunan jalan.
“Kita butuh keberanian merancang ulang seluruh sistem mobilitas Jabodetabekjur. Ini adalah jalan satu-satunya jika kita ingin menjadi kawasan metropolitan yang berkelas global,” pungkasnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]