Kerugian ekonomi akibat penyakit pernapasan yang mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, menurutnya, menjadi argumen kuat bahwa pengendalian emisi adalah investasi jangka panjang, bukan beban biaya.
“Ketika negara harus menanggung kerugian ekonomi lebih dari Rp45 triliun per tahun akibat polusi udara, maka pencegahan melalui sistem pemantauan emisi menjadi pilihan paling rasional. Biaya pemasangan alat jauh lebih kecil dibandingkan ongkos sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat,” tegasnya.
Baca Juga:
Emisi Kendaraan Makin Tinggi, Kualitas BBM Indonesia Tertinggal dari Standar Dunia,
Tohom Purba yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini menggarisbawahi pentingnya integrasi kebijakan pusat dan daerah dalam isu kualitas udara.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa pemasangan alat pemantau emisi tidak boleh berhenti di kawasan industri saja, melainkan harus menjadi sistem terpadu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan publik.
“Transparansi data kualitas udara harus bisa diakses masyarakat. Dengan begitu, warga menjadi bagian dari sistem pengawasan sosial. Ini akan menciptakan tekanan positif bagi industri dan pemerintah daerah untuk konsisten menjaga kualitas udara di kawasan aglomerasi,” katanya.
Baca Juga:
Udara Jakarta Makin Parah! Masuk Peringkat 2 Dunia, Warga Diminta Tutup Jendela
Lebih lanjut, Tohom menilai kebijakan KLH dapat menjadi model nasional dalam pengendalian pencemaran udara berbasis kawasan.
Ia berharap langkah ini diperluas ke wilayah industri lain di luar Jabodetabekjur, sehingga Indonesia memiliki standar nasional pengelolaan kualitas udara yang adaptif, berbasis teknologi, dan berorientasi pada kesehatan generasi mendatang.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]