Ia mencontohkan bahwa masih banyak pengguna KRL, MRT, LRT, dan Kereta Bandara yang merasa transportasi publik hanya sekadar alat berpindah, belum menjadi pengalaman yang nyaman dan membanggakan.
“Kalau integrasi Karet-Sudirman dilakukan dengan pendekatan kualitas, bukan sekadar koneksi teknis, maka kawasan ini akan menjadi pusat aktivitas urban dengan standar kota maju. Di sinilah konsep aglomerasi harus diterjemahkan: bukan hanya soal konektivitas wilayah, tapi juga standarisasi kualitas ruang hidup,” tegas Tohom.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Sambut Rencana Skytrain Bekasi untuk Perkuat Integrasi Transportasi Aglomerasi Jabodetabekjur
Ia juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan bahwa TOD Dukuh Atas tidak hanya menjadi etalase proyek, tetapi menjadi model tata kelola yang bisa direplikasi ke kota-kota penyangga lain.
“Aglomerasi Jabodetabekjur adalah laboratorium masa depan Indonesia. Kalau integrasi ini berhasil, maka kota-kota lain seperti Medan-Binjai-Deliserdang (Mebidang), Bandung Raya, hingga Gerbangkertasusila di Jawa Timur bisa mengambil pelajaran strategis,” ungkapnya.
Lebih jauh, Tohom menyebut keberanian pemerintah dalam menyatukan Stasiun Karet dan Sudirman juga mencerminkan komitmen untuk memutus budaya pembangunan jangka pendek. Menurutnya, integrasi transportasi adalah landasan dari ekonomi modern.
Baca Juga:
Gubernur Jambi Dorong Legalisasi Sumur Minyak Rakyat, Tegaskan Keadilan Energi pada Rapat Nasional Penanganan Sumur Minyak Masyarakat
“Ketika warga bisa bergerak cepat dan nyaman, maka produktivitas meningkat. Pemerintah tidak bisa bicara ekonomi digital atau kota global tanpa menyelesaikan soal mobilitas publik,” pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]