Program normalisasi sungai yang selama ini berorientasi pada pengendalian banjir harus dikembangkan menjadi program multipurpose, yakni pengendalian banjir sekaligus penyediaan air bersih dan ruang hijau publik.
“Kalau Jepang bisa memulihkan Sungai Sumida yang dulu tercemar berat menjadi sumber air bersih perkotaan, mengapa Jakarta tidak bisa?” tambah Tohom dengan nada optimis.
Baca Juga:
Gubernur DKI Luruskan Isu Dana Mengendap Rp14,6 T: Buat Bayar Kewajiban Akhir Tahun
Menurut Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini, pemanfaatan sungai-sungai Jakarta harus dikaitkan langsung dengan rencana besar pembangunan kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur.
Ia menyebut, wilayah aglomerasi ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa koordinasi sumber daya air, energi, dan transportasi yang terintegrasi.
“Aglomerasi tanpa pengelolaan air terpadu itu mustahil. Pemerintah harus berpikir secara regional. Air baku dari sungai di Jakarta bisa disaring dan disalurkan ke Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Bogor. Ini bentuk nyata dari konsep aglomerasi yang sesungguhnya,” jelasnya.
Baca Juga:
Kualitas Udara Jakarta Masuk Kategori Tidak Sehat, Terburuk Kelima di Dunia
Tohom juga menyoroti fakta bahwa 70 persen jaringan pipa air di Jakarta telah berusia lebih dari 25 tahun. Kondisi ini memperburuk kehilangan air (non-revenue water) yang mencapai hampir separuh dari total distribusi.
Oleh karena itu, ia mendesak agar pemerintah mempercepat modernisasi infrastruktur air perkotaan sekaligus mengembangkan teknologi pengolahan air berbasis smart purification system.
“Jakarta tidak boleh terus bergantung pada air kiriman. Kita harus belajar mandiri. Teknologi water recycling, urban aquifer recharge, dan sistem kota spons seharusnya sudah diterapkan sekarang, bukan besok,” tegas Tohom.