Status Karyawan: Stabil, tapi Kurang Fleksibel
Sebagian pihak mendorong agar pengemudi ojol diakui sebagai karyawan formal. Dengan status ini, perusahaan aplikasi berkewajiban memberikan hak-hak normatif seperti upah minimum, BPJS Ketenagakerjaan, cuti, dan pesangon. Pendekatan ini dipandang sebagai cara untuk meningkatkan keadilan sosial dan keamanan kerja bagi jutaan pengemudi.
Baca Juga:
Penumpang Koma di Depan DPR, Maxim Angkat Bicara dan Blokir Akun Pengemudi
Namun, perubahan status ini bukan tanpa risiko. Dari sisi perusahaan, menjadikan seluruh pengemudi sebagai karyawan penuh akan menimbulkan beban biaya yang sangat besar. Kondisi ini dapat mengancam keberlanjutan model bisnis dan bahkan menurunkan daya saing. Selain itu, sistem kerja formal akan menghapus kebebasan waktu kerja yang menjadi daya tarik utama bagi banyak pengemudi.
Perspektif Sosial dan Hukum
Permasalahan status pengemudi ojol juga menunjukkan adanya kekosongan hukum dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia. Istilah “kemitraan” yang digunakan dalam kontrak aplikasi belum memiliki padanan yang kuat dalam regulasi. Akibatnya, banyak kasus sengketa hubungan kerja antara pengemudi dan perusahaan berakhir tidak jelas.
Baca Juga:
Polda Metro Jaya Beri Hadiah Rp500 Ribu ke Ojol yang Lapor Aksi Kriminal
Dalam konteks inilah, urgensi pembentukan kerangka hukum baru untuk pekerjaan berbasis platform menjadi semakin mendesak. Pemerintah perlu mengakui bahwa munculnya jenis pekerjaan digital seperti ojol, kurir, atau freelancer online memerlukan definisi hukum baru yang tidak sekadar hitam putih antara karyawan dan mitra.
Model Hybrid: Jalan Tengah yang Realistis
Melihat kompleksitas persoalan di atas, pendekatan yang paling ideal bagi Indonesia tampaknya adalah model hybrid, yaitu status kerja yang menggabungkan unsur fleksibilitas mitra dan perlindungan dasar karyawan.