JAKARTA.WAHANANEWS.CO, Surabaya - Dalam satu dekade terakhir, layanan transportasi berbasis aplikasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat perkotaan Indonesia.
Di balik kemudahan akses dan efisiensi layanan yang ditawarkan oleh perusahaan seperti Gojek dan Grab, terdapat jutaan pengemudi ojek online (ojol) yang menjadi tulang punggung sistem tersebut. Namun, hingga kini, status hukum para pengemudi ojol masih menjadi perdebatan: apakah mereka seharusnya dianggap mitra independen atau karyawan dengan hubungan kerja formal?
Baca Juga:
Penumpang Koma di Depan DPR, Maxim Angkat Bicara dan Blokir Akun Pengemudi
Pertanyaan ini tidak hanya berdampak pada aspek legal, tetapi juga menyentuh dimensi sosial, ekonomi, dan moral. Status “mitra” memberi keleluasaan bagi pengemudi untuk bekerja fleksibel, namun di sisi lain menimbulkan ketidakpastian penghasilan dan perlindungan hukum yang lemah. Sebaliknya, status “karyawan” menjanjikan stabilitas dan jaminan sosial, tetapi menghilangkan fleksibilitas serta menambah beban biaya bagi perusahaan aplikasi.
Mencari “status ideal” bagi pengemudi ojol berarti mencari keseimbangan antara fleksibilitas ekonomi digital dan perlindungan sosial pekerja.
Status Mitra Independen: Fleksibel tapi Rentan
Baca Juga:
Polda Metro Jaya Beri Hadiah Rp500 Ribu ke Ojol yang Lapor Aksi Kriminal
Mayoritas pengemudi ojol di Indonesia saat ini berstatus sebagai mitra independen. Dalam perjanjian digital yang mereka setujui, hubungan kerja dijelaskan sebagai bentuk “kemitraan”, bukan hubungan kerja formal seperti yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Bagi sebagian besar pengemudi, status ini menawarkan kebebasan bekerja. Mereka bisa menentukan sendiri jam operasional, memilih area kerja, atau bahkan menolak pesanan tanpa takut sanksi administratif layaknya pegawai kantoran. Namun di balik fleksibilitas tersebut, terdapat persoalan besar yang sering diabaikan: minimnya perlindungan hak pekerja.
Karena tidak dianggap sebagai karyawan, pengemudi ojol tidak berhak atas upah minimum, tunjangan hari raya, pesangon, atau jaminan sosial yang lazim dimiliki pekerja formal. Banyak pengemudi mengeluh bahwa pendapatan mereka tidak menentu, sering kali menurun akibat kebijakan algoritma, potongan insentif, atau fluktuasi permintaan.