“Kalau kita hanya mengandalkan pemerintah, percepatan akan lambat. Tapi bila ekosistemnya dibangun bersama, maka transisi energi akan menjadi gerakan rakyat yang berkelanjutan,” jelasnya.
Tohom menyoroti bahwa pemanfaatan energi surya di Jakarta masih didominasi bangunan komersial berskala kecil dan menengah, sementara sektor rumah tangga belum banyak berkontribusi.
Baca Juga:
Emisi Kendaraan Makin Tinggi, Kualitas BBM Indonesia Tertinggal dari Standar Dunia,
Ia mendorong adanya skema insentif seperti keringanan pajak, kredit hijau, atau potongan tarif listrik bagi rumah tangga yang memasang PLTS atap. “Kesadaran masyarakat perlu ditumbuhkan lewat insentif nyata. Ini bukan soal kemampuan, tapi soal keberpihakan kebijakan,” katanya.
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini menambahkan, pengolahan sampah menjadi energi listrik merupakan solusi ganda bagi kota besar seperti Jakarta.
Selain mengurangi timbunan sampah yang menekan lahan TPA, PLTSa mampu menyediakan sumber energi stabil yang tidak tergantung cuaca.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran: Sampah Kini Jadi Rebutan, Bahkan Bisa Jadi Bahan Bangun Rumah
“Kombinasi antara tenaga surya dan sampah adalah masa depan energi perkotaan Indonesia. Ini bukan mimpi, ini kebutuhan,” ujarnya menegaskan.
Ia juga menilai, keterlibatan pemerintah daerah harus lebih agresif dalam mendorong pemanfaatan lahan-lahan non-produktif, seperti atap gedung pemerintahan, sekolah, atau fasilitas umum untuk PLTS.
“Kita punya banyak ruang publik yang bisa jadi pembangkit mini. Bayangkan kalau setiap kantor kelurahan punya PLTS, efeknya bukan hanya hemat biaya tapi juga simbol nyata perubahan gaya hidup energi,” tutur Tohom.