WahanaNews Jakarta | Putusan Majelis Kehormatan Hakim terhadap JW dan MJP dikritik.
Sanksi yang dijatuhkan dinilai terlalu ringan dan mencederai rasa keadilan publik.
Baca Juga:
Iron Dome Jebol, Hizbullah Lancarkan Serangan Mematikan ke Israel
JW dan MJP adalah dua hakim yang bertemu dengan pihak berperkara saat menangani perkara di Pengadilan Negeri Menggala di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, serta sempat meminta telepon genggam dan sejumlah uang.
”Terhadap dua hakim yang bertemu pihak berperkara, itu sudah cukup untuk menjadi dasar untuk memberhentikan mereka. Mereka telah merusak independensi hakim, padahal itu merupakan modal dasar bagi hakim pelaku kekuasaan kehakiman,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat ditanya tanggapannya terkait putusan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) atas JW dan MJP, Kamis (14/10/2021).
Putusan dimaksud dijatuhkan MKH dalam sidang yang digelar di gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Rabu (13/10/2021).
Baca Juga:
Cairkan Gaji Guru Honorer untuk Pilgub, Gubernur Bengkulu Resmi Jadi Tersangka KPK
MKH dipimpin Taufiq HZ dari Komisi Yudisial (KY) dengan enam anggota, yakni Amzulian Rifai (dari KY), Siti Nurdjanah (KY), Binziad Kadafi (KY), serta Yodi Martono Wahunadi (MA), Gazalba Saleh (MA), dan H Dwi Sugiarto (MA).
Awalnya, JW dan MJP dibawa ke MKH atas rekomendasi KY. KY menilai keduanya melakukan pelanggaran berat sehingga perlu dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dengan hak pensiun dari KY.
Namun setelah disidangkan MKH, sanksi pemberhentian tetap tak dijatuhkan meski keduanya terbukti melakukan pelanggaran berat.
”Menjatuhkan sanksi berat berupa hakim nonpalu (tak boleh mengadili perkara) selama dua tahun, tanpa dibayar tunjangan jabatan, dan dimutasi ke Pengadilan Tinggi Maluku Utara,” ucap Taufiq, dikutip dari siaran pers yang disampaikan Juru Bicara KY Miko Ginting, Kamis.
Kedua hakim tersebut, menurut Miko, terbukti bertemu pihak berperkara.
Selain itu, mereka meminta telepon genggam dan sejumlah uang serta melakukan tawar-menawar dengan pihak berperkara itu.
Namun, dalam pemeriksaan MKH, keduanya tidak terbukti menerima telepon genggam dan uang yang diminta tersebut.
Sebab, saat perkara memasuki pembuktian, keduanya sudah dimutasi ke pengadilan lain.
Mereka pun mengaku tak mengetahui bagaimana perkara itu kemudian diputus.
Meskipun tidak terbukti menerima pemberian, kedua hakim tersebut melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim khususnya, angka 1 butir 1.2 bahwa hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan; dan angka 2 Butir 2.1.1 tentang hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.
Selain itu, angka 2.2.(1) tentang hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami/istrinya, orang tua, anak/anggota keluarga lainnya untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, dan pihak lain yang diduga kuat berkaitan dengan perkara.
Selain itu, keduanya juga dinilai telah melanggar Pasal 5 Ayat (2) Huruf b tentang konflik kepentingan.
Usut Potensi Pidana
Selain menilai putusan MKH yang terlalu ringan, menurut Kurnia, MA dan KY seharusnya bekerja sama dengan penegak hukum agar potensi tindak pidana di balik pertemuan antara dua hakim dan pihak berperkara itu dapat ditelusuri.
“Agar tidak berhenti pada proses etik. Tapi juga ditelusuri tindak pidananya,”tambah dia.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga menilai putusan MKH telah mencederai rasa keadilan publik.
Tindakan hakim bertemu dan meminta sesuatu kepada pihak berperkara merupakan suatu bentuk pengkhianatan.
“Bertemu saja tidak boleh, apalagi meminta uang atau telepon genggam,” katanya.
Menanggapi kritik itu, Miko Ginting mengatakan, MKH menemukan sejumlah faktor yang meringankan terlapor, yakni belum terjadi penerimaan uang dan telepon genggam.
”Keputusan MKH ini bersifat etik. Kalau misalnya ada indikasi pidana, penegak hukum bisa menindaklanjutinya,” ujarnya.
Selain sanksi untuk kedua hakim tersebut, MKH menjatuhkan sanksi kepada FNN, hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjung Pinang, karena tidak menjalankan tugas sejak 2018.
FNN dijatuhi sanksi non-palu selama dua tahun dan dimutasi ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan.
Dalam pemeriksaan MKH, FNN mengatakan bahwa dirinya terpaksa mengurus dua (dari tiga) anaknya yang berkebutuhan khusus.
Atas rekomendasi psikiater, kedua anak tersebut harus selalu didampingi.
Karena mengajukan mutasi ke Medan kepada Ketua Kamar TUN MA tetapi belum mendapat tanggapan, FNN mengajukan cuti besar dan tidak kembali ke Tanjung Pinang tanpa pemberitahuan kepada atasannya.
Atas pelanggarannya ini, ia dijatuhi sanksi non-palu selama dua tahun dan dimutasi ke Pengadilan Tinggi TUN Medan. [non]