Lebih jauh, Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini, mengatakan bahwa Jakarta memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang ekonomi dan sosial dari seluruh poros aglomerasi Jabodetabekjur.
Karena itu, pengembangan kawasan semacam Dukuh Atas harus dikawal secara teknokratik dan partisipatif agar benar-benar mencerminkan prinsip tata kelola metropolitan.
Baca Juga:
Truk Sedot WC yang Buang Tinja Sembarangan Terancam Pencabutan Izin
“Jangan sampai TOD hanya jadi jargon branding kota, tapi tidak mengubah perilaku transportasi warga. Untuk itu dibutuhkan kombinasi antara desain arsitektural yang unggul dan kebijakan insentif agar warga mau tinggal, bekerja, dan beraktivitas dalam radius TOD,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan program TOD sangat ditentukan oleh kepastian konektivitas lintas moda, transparansi anggaran, serta pengendalian spekulasi lahan yang kerap menjadi ‘penyakit lama’ dalam proyek-proyek perkotaan berskala besar.
“Kalau ini dikawal dengan cerdas, maka Jakarta bisa menjadi model metropolitan ASEAN yang tak hanya ‘hidup 24 jam’ secara simbolik, tetapi juga secara produktif, sehat, dan terkoneksi. Ini relevan dengan mimpi besar Indonesia Emas 2045,” pungkas Tohom.
Baca Juga:
Alasan Kepenuhan, Sopir Truk Tinja Diduga Buang Limbah di Depan Halte Dukuh Atas
Sebelumnya, Gubernur Jakarta Pramono Anung dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta menegaskan bahwa pengembangan kawasan TOD di Dukuh Atas merupakan bagian dari strategi menjadikan Jakarta sebagai kota global.
Ia menyebut kawasan tersebut akan mengusung konsep “tinggal-bergerak-terkoneksi” yang terintegrasi dalam satu ekosistem ruang.
Selain itu, Pemprov DKI juga berkomitmen menata ulang estetika kota melalui program penurunan kabel udara, pengembangan jaringan utilitas bawah tanah, dan peningkatan akses publik ke ruang terbuka, perpustakaan, hingga museum.