6. Terdakwa dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas pebuatan yang telah dilakukannya, telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
7. Mengacu pada pengertian umum sebagaimana misalnya dalam KBBI, yang mengartikan “pengulangan” sebagai proses, cara, perbuatan mengulang”. Jika tersebut, maka terdapat 2 (dua) konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan dimaknai sebagai pengulangan yaitu:
a) Terdakwa telah melakukan dua perbuatan korupsi yaitu dalam perkara korupsi PT. AJS dan perkara Korupsi PT. Asabri, di mana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan (PT. AJS sejak 2008 s.d. 2018 dan PT. Asabri sejak tahun 2012 s.d. 2019).
b) Dalam perkara korupsi pada PT. ASABRI dilakukan oleh terdakwa dilakukan sejak periode sejak tahun 2012 s.d. 2019 yang berdasarkan karakteristik perbuatannya dilakukan secara berulang dan terus menerus yaitu pembelian dan penjualan saham yang mengakibatkan kerugian bagi PT. Asabri.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
8. Selanjutnya terkait dengan dakwaan tidak menyebut Pasal 2 ayat (2), menurut penuntut umum frase “Keadaan tertentu” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi…”
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan bahwa:
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana.
Dengan demikian, tidak dicantumkannya Pasal 2 ayat (2) seharusnya tidaklah menjadi soal terhadap dapat diterapkannya pidana mati karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana, karena cukup terpenuhinya keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati dapat diterapkan. Keadaan tertentu sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati.
Maka dengan alasan pertimbangan dimaksud, JPU membacakan tuntutan terhadap terdakwa dengan amar putusan sebagai berikut:
Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.” Menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati.
Membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643.400.946.226 dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.[non]