Oleh karena itu, ia mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk tidak hanya memperbanyak SPKU, tetapi juga memperkuat regulasi terkait emisi industri, transportasi, dan pembakaran terbuka.
"Menambah SPKU adalah langkah awal yang baik, tetapi tidak cukup jika tanpa kebijakan ketat terhadap sumber pencemaran. Pemerintah perlu lebih serius dalam menindak pelanggaran emisi dan mempercepat transisi ke energi yang lebih bersih," tegasnya.
Baca Juga:
Hadiri Manasik Haji Tahap I, Tri Adhianto ’Curcol’ Soal Ini
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch menilai bahwa peningkatan kualitas udara di Jakarta harus dilihat dalam konteks regional Jabodetabekjur.
Menurutnya, pergerakan polutan dari luar Jakarta, terutama dari kawasan industri dan transportasi lintas kota, harus menjadi perhatian utama.
"Kita tidak bisa hanya melihat Jakarta sebagai entitas sendiri. Udara tidak mengenal batas administratif, sehingga kerja sama antarwilayah dalam Aglomerasi Jabodetabekjur menjadi sangat krusial. Perlu ada kebijakan lintas daerah yang terintegrasi untuk memastikan udara bersih bagi seluruh penduduk metropolitan," bebernya.
Baca Juga:
Sukseskan 100 Hari Kerja Kepala Daerah, Kecamatan Mustikajaya Bagikan 100 Kacamata Gratis
Ia juga mengingatkan bahwa kondisi iklim global, seperti pergeseran musim kemarau akibat fenomena El Niño, turut memengaruhi kualitas udara di Jakarta.
Dalam kondisi kemarau panjang dengan curah hujan rendah, partikel polutan sulit terurai sehingga kualitas udara bisa memburuk secara signifikan.
"Kita tidak boleh hanya mengandalkan faktor alam seperti hujan untuk mengurangi polusi. Harus ada upaya mitigasi aktif, seperti penghijauan, pengendalian emisi kendaraan, serta kebijakan berbasis data yang terus diperbarui," pungkasnya.