WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena penutupan ratusan gerai minimarket di kawasan Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur) memantik perhatian serius dari Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran.
Ketua Umum DPP MARTABAT, KRT Tohom Purba, menilai ini sebagai momentum strategis bagi masyarakat untuk mengambil alih ruang ekonomi ritel dengan membangun toko mandiri berbasis komunitas.
Baca Juga:
Dukung Inovasi Ritel, Wamendag Roro Tegaskan Kontribusi Ritel bagi Ekonomi dan Perdagangan Nasional
“Ini merupakan sinyal bahwa sistem ritel lama mulai goyah di bawah tekanan biaya sewa dan operasional yang tak masuk akal. Rakyat tidak boleh hanya jadi penonton. Kita harus berani ambil alih pasar ini,” ujar Tohom dalam pernyataan resminya di Jakarta, Senin (10/6/2025).
Menurut data terbaru, Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), Anggara Hans Prawira, menyebutkan bahwa total gerai Alfamart yang telah ditutup mencapai lebih dari 500 unit.
Dalam kuartal pertama tahun 2025 saja, sudah ada 109 gerai yang ditutup, dengan rincian 57 Alfamart, 19 Alfamidi, 11 Lawson, dan 22 Dandan.
Baca Juga:
Wanti-wanti Pengusaha RI! IPO Rp21 Triliun 2021 Lalu Tutup 2024, Investor Bukalapak Gigit Jari
Sebagian besar penutupan ini terjadi di kawasan Jabodetabek, wilayah dengan beban biaya sewa toko tertinggi di Indonesia.
“Biaya sewa yang melonjak lima tahunan, sementara penjualan stagnan, adalah kombinasi mematikan bagi ritel konvensional,” kata Anggara dalam konferensi pers di Alfamart Tower, Tangerang, beberapa waktu lalu.
Namun bagi Tohom, situasi ini harus dijadikan peluang emas untuk lahirnya model ritel alternatif.
Ia mendorong masyarakat, koperasi, dan komunitas lokal untuk membangun toko mini secara mandiri, baik melalui skema gotong-royong maupun dukungan pemerintah daerah.
“Kita tidak butuh modal triliunan. Yang kita perlukan adalah visi dan kemauan bersama. Bayangkan jika setiap RW memiliki satu toko mini milik warga yang dikelola secara akuntabel dan profesional, itu akan memperkuat ekonomi rakyat sekaligus menciptakan lapangan kerja lokal,” tegasnya.
Tohom juga mengingatkan bahwa kejatuhan ritel besar di kawasan aglomerasi bukanlah fenomena lokal, melainkan sinyal sistemik tentang ketidakseimbangan antara kapital besar dan daya beli masyarakat urban.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa ketimpangan infrastruktur ekonomi di kawasan metropolitan telah lama menjadi bom waktu.
"Penutupan ini adalah ledakan kecil dari persoalan besar yang tidak ditangani sejak lama,” tuturnya.
Sebagai pengamat kebijakan publik dan advokat perlindungan konsumen, Tohom menyerukan perlunya intervensi kebijakan untuk menciptakan ekosistem ritel baru yang lebih adil.
Ia mengusulkan agar pemerintah daerah memberikan insentif pajak dan pembebasan sewa lahan untuk toko-toko komunitas.
“Kalau pemerintah bisa kasih insentif buat investor asing, kenapa tidak untuk warga sendiri yang ingin bangun toko?” ujarnya kritis.
Lebih jauh, Tohom menambahkan bahwa toko-toko komunitas ini bisa menjadi media distribusi produk lokal dan UMKM yang selama ini kalah bersaing dalam rak-rak ritel besar.
“Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mendefinisikan ulang ekosistem ritel nasional. Kita jangan tergantung pada satu-dua jaringan besar. Diversifikasi dan keberpihakan pada ritel rakyat adalah bentuk nyata dari kedaulatan ekonomi,” pungkasnya.
Sebelumnya, pihak PT Sumber Alfaria Trijaya menjelaskan bahwa keputusan penutupan gerai-gerai mereka murni berdasarkan pertimbangan efisiensi bisnis.
“Kalau secara bisnis masih bagus tapi biaya sewanya enggak make sense, ya harus kita tutup,” ujar Anggara. Ia juga menyebut bahwa tekanan operasional yang tinggi membuat banyak gerai tidak lagi berkelanjutan, meski penjualan tetap tumbuh.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]