Jakarta.WahanaNews.co, DKJ - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Mardani Ali Sera, menyatakan bahwa usulan kawasan aglomerasi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) mendukung agar Jakarta tidak terjerembab setelah kehilangan status sebagai ibu kota negara.
Dia mengatakan istilah "tenggelam" yang dimaksud adalah soal penurunan kontribusi ekonomi. Pasalnya, kata dia, saat ini Jakarta telah berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 17 persen.
Baca Juga:
Pemerintah DKI Jakarta Tingkatkan Uji Emisi untuk Cegah Pencemaran Udara
"Kita ingin kalau nggak jadi ibu kota, tetap 17 persen (PDB), bahkan naik ke 20-25 persen, sehingga bisa bersaing dengan Bangkok, Singapura, Manila, Tokyo, tentu perlu penataan," kata Mardani di sela-sela rapat panitia kerja pembahasan RUU DKJ di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Dia mengatakan awalnya DPR beranggapan bahwa aglomerasi DKJ akan memiliki konsep megapolitan demi menguatkan ekonomi. Namun hal tersebut, menurutnya, berbenturan dengan konsep otonomi daerah.
Adapun kawasan aglomerasi yang diusulkan oleh pemerintah dalam RUU DKJ, menurut dia, adalah menciptakan kolaborasi dan sinergi pada bidang-bidang tertentu yang membuat Jakarta menjadi tetap kompetitif untuk menjadi kota global.
Baca Juga:
Jakarta Membutuhkan Anggaran Rp 600 Triliun menuju Status Kota Global
"Konsep pemerintah jauh lebih lentur dan aplikatif karena kalau konsep megapolitan itu harus mengubah banyak sekali undang-undang terkait dengan otonomi daerah," katanya.
Di samping itu, menurut Mardani, pemerintah juga telah mengubah wacananya atau mengembalikan kepada sistem semula yakni bahwa Pilkada tetap diadakan di Jakarta ketika menyandang status DKJ.
Nantinya, kata dia, kawasan aglomerasi itu harus ada yang bertanggung jawab, yakni seorang wakil presiden. Menurutnya, kementerian bisa mengatur gubernur dan bupati, tetapi permasalahan aglomerasi pun melibatkan kementerian lainnya yang statusnya sejajar.
"Mendagri, bisa ngatur bupati, gubernur di bawah, tetapi ada beberapa yang urusannya dengan Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, mungkin Kementerian PPN/Bappenas, nah itu Kemendagri akan sulit," katanya.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir]