Jakarta.WAHANANEWS.CO - Jakarta tak lagi menjadi magnet tunggal bagi perantau. Kini, kawasan aglomerasi seperti Jabodetabekjur (Jakarta–Bogor–Depok–Tangerang–Bekasi–Cianjur) justru menjadi wajah baru dinamika urbanisasi Indonesia.
Menanggapi fenomena ini, Ketua Umum Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menyerukan perlunya kesiapan strategis dan matang dalam membentuk kawasan aglomerasi sebagai satu entitas metropolitan berkelas dunia.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
“Jika Jakarta sudah tak lagi jadi satu-satunya pusat tarik migrasi, maka kawasan sekitarnya harus naik kelas. Aglomerasi Jabodetabekjur harus disiapkan secara terintegrasi, bukan sekadar wilayah penyangga, tapi menjadi kota global baru yang berdaya saing,” ungkap Ketua Umum Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, Minggu (15/6/2025).
Tohom menilai, tren migrasi yang kian mengarah keluar Jakarta adalah indikator perubahan struktural dalam peta mobilitas nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, migrasi masuk ke Jakarta anjlok drastis sejak tahun 1990 hingga 2020. Terakhir, Jakarta mencatat rekor kehilangan lebih dari 585 ribu penduduk akibat migrasi keluar dalam lima tahun terakhir sebelum Sensus 2020.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
“Ini bukan hanya sinyal krisis kepadatan atau polusi di Jakarta. Tapi juga peluang untuk membangun kawasan urban yang lebih manusiawi, hijau, dan terdistribusi secara adil,” ujar Tohom.
Ia menekankan, pendekatan pembangunan masa depan harus berbasis aglomerasi cerdas, bukan lagi Jakarta-sentris. Hal ini sejalan dengan masukan berbagai lembaga, termasuk Lembaga Demografi FEB UI, yang menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat kini tinggal di daerah penyangga namun tetap bekerja di Jakarta. Fenomena ini dikenal sebagai urban sprawl dan membentuk sabuk komuter yang harus dikelola secara bijak.
Tohom menyoroti fakta bahwa sekitar 1,5 juta orang setiap hari melakukan perjalanan dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ke Jakarta untuk bekerja atau sekolah.
Menurutnya, angka ini menunjukkan bahwa pusat aktivitas ekonomi belum berpindah secara merata meski pusat domisili sudah bergeser.
“Yang kita butuhkan bukan hanya relokasi penduduk, tapi juga relokasi fungsi dan peluang ekonomi ke seluruh wilayah aglomerasi. Pemerintah pusat dan daerah harus satu visi dan mempercepat integrasi infrastruktur transportasi, perumahan, serta layanan publik di kawasan ini,” lanjutnya.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch, mengingatkan bahwa kawasan Jabodetabekjur berpotensi tumbuh menjadi pusat urban alternatif setara dengan kota-kota global seperti Greater London, Tokyo Metro Area, dan Randstad Belanda, asalkan dikelola dengan tata kelola metropolitan yang modern dan inklusif.
“Tidak bisa lagi pendekatan kita sektoral dan terfragmentasi. Ini era integrasi tata kota lintas batas administratif. Kalau tidak, kita akan melihat ketimpangan yang makin ekstrem antara pusat dan pinggiran,” paparnya.
Lebih lanjut, Tohom mendorong pemerintah untuk menjadikan agenda aglomerasi sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan lima tahun ke depan.
Ia menyebut, visi Indonesia Emas 2045 hanya bisa tercapai bila urbanisasi dikelola dengan lompatan desain.
“Pak Prabowo dan Mas Gibran harus menjadikan aglomerasi ini sebagai laboratorium hidup menuju kota masa depan. Kota global bukan soal pencakar langit semata, tapi soal keadilan mobilitas, akses air bersih, udara sehat, dan kemudahan hidup,” tuturnya.
Kawasan aglomerasi Jabodetabekjur mencakup lebih dari 30 juta penduduk, menjadikannya salah satu konsentrasi urban terbesar di dunia.
"Namun, status hukum dan kelembagaan kawasan ini masih belum sepenuhnya tersinkronisasi, membuatnya rentan terhadap tumpang tindih kebijakan antarwilayah," pungkasnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]