Padahal, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso kala itu, telah memberi kuasa kepada Drs Ma’mun Amin, Plh Kepala Biro Perlengkapan Provinsi DKI Jakarta, untuk melakukan pembayaran atas tanah serifikat hak milik atas nama Nasan bin Ridi Cs yang terletak di lokasi Sub Dinas Peralatan dan Perbekalan (Alkal) DPU Provinsi DKI Jakarta di Jl Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di antara sertifikat yang disebut, termasuk tanah Sertifikat No: 100.
Selain pembayaran, penerima kuasa juga diperintahkan menandatangani akta pelepasan hak di hadapan notaris dan lain-lain yang diperlukan, berkaitan dengan pembayaran ganti-rugi atas tanah tersebut.
Baca Juga:
Paslon Ahmad Rizal Ajukan Sengketa ke Bawaslu Labura Atas Putusan TMS KPUD
Namun, Surat Kuasa No. 3785/085 yang ditandatangani langsung Gubernur Sutiyoso tanggal 20 Desember 2001, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berikutnya tidak ditindaklanjuti.
“Kesan saya, Pemprov DKI Jakarta semena-mena menyerobot tanah yang sah dimiliki rakyat,” tegas Toni.
Terkait momentum ketika Presiden Jokowi mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik di antaranya LRT, lanjutnya, tenyata Stasiun LRT Pegangsaan Dua sesungguhnya didirikan di atas tanah rakyat yang belum diganti-rugi.
Baca Juga:
Peran Anwar Usman di Sengketa Pilkada 2024 Masih Dipertimbangkan MK
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Government Against Corruption and Discrimination (GACD), Andar Situmorang terkejut ketika dikatakan bahwa Sertifikat No. 100 belum dibayarkan oleh Pemda DKI Jakarta.
Andar menyoroti Pemprov DKI Jakarta untuk segera menyelesaikan pembayaran yang hingga saat ini belum diterima oleh pemilik hak lahan untuk pembangunan Stasiun dan Depo LRT Pegangsaan Dua.
Perlu diketahui, pembangun LRT sepanjang 5,8 km ini menelan anggaran 2,5 triliun rupiah. Dana itu sudah termasuk pembebasan lahan Stasiun dan Depo LRT Pegangsaan Dua seluas 12 ha. LRT Jakarta ini akan melayani lima stasiun, yakni Boulevard Utara, Boulevard Selatan, Stasiun Pulomas, Stasiun Equestrian, dan Stasiun Velodrome.