Saat ini, Transjakarta memiliki 13 koridor utama dan 1 koridor JIS-Senen serta sekitar puluhan rute non-BRT yang beroperasi sebagai pelengkap jaringan. Dengan infrastruktur transportasi massal yang sudah tersedia secara luas, penerapan ERP merupakan suatu keharusan.
Tidak ada alasan lagi bagi Dishub DKI Jakarta untuk tidak mampu menuntaskan implementasi ERP di Ibu Kota. Terlebih lagi, Unit Pengelolaan Jalan Berbayar Sistem Elektronik (UP JBSE) telah lama berada di bawah kewenangan Dishub DKI Jakarta.
Baca Juga:
Kepala BKD DKI Chaidir Diserang Hoaks dengan Tuduhan Dugaan Jual Beli Jabatan
Alasan terkait aturan dan regulasi juga sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dalih. Gagasan penerapan ERP telah muncul sejak lama, bahkan sejak periode tahun 2000-2006. Kini sudah sekitar tahun 2025, artinya sudah lebih dari dua dekade sejak konsep tersebut diperkenalkan. Yang dibutuhkan saat ini adalah kesungguhan dari Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta—siapa pun orangnya—untuk mengupayakan percepatan penyusunan dan pengesahan regulasi pendukung ERP.
Jika hingga kini masih muncul alasan bahwa kegagalan ERP disebabkan oleh belum tersedianya peraturan daerah, peraturan gubernur, atau aturan teknis lainnya, maka alasan tersebut sudah tidak relevan lagi. Dengan demikian, kegagalan implementasi ERP di Ibu Kota Jakarta dapat dianggap sebagai bentuk ketidakseriusan atau kegagalan dalam kinerja Kadishub DKI Jakarta. Terlebih, Kadishub DKI Jakarta, Syafrin Liputo, telah menjabat lebih dari enam (6) tahun.
Ketiadaan ERP berarti masalah inti kemacetan tidak tersentuh, dan warga Jakarta harus terus menanggung beban kerugian yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Fakta di lapangan juga tidak dapat dibantah: banyak ruas jalan di Jakarta masih mengalami kemacetan akut hampir setiap hari.
Baca Juga:
Menakar Untung & Rugi Pernyataan Pramono: Hanya Ingin Menjabat Gubernur Jakarta Satu Periode, Tak Tergiur Nyapres
Padahal, anggaran Dinas Perhubungan sangat besar; pada tahun 2025 saja Dishub mengajukan anggaran sebesar Rp7,61 triliun dalam KUA-PPAS sebagai bagian dari APBD.
Dengan kondisi seperti itu, wajar apabila muncul tuntutan dan desakan masyarakat agar pemerintah daerah memastikan bahwa anggaran tersebut benar-benar digunakan secara efektif untuk mengatasi kemacetan.
Namun, meskipun alokasi anggaran begitu besar, proyek-proyek strategis seperti penanganan kemacetan Jakarta dan penerapan ERP masih belum tuntas, termasuk penyempurnaan rekayasa lalu lintas, penataan parkir, serta berbagai persoalan transportasi lainnya.