Demikian juga pendapatan pekerja kemitraan sangat jauh di bawah pekerja formal, namun mereka tidak bisa merasakan dana APBN yang mereka sumbang juga melalui pembayaran pajak berbagai transaksinya.
Formalisasi pekerja informal seharusnya menjadi prioritas Pembangunan ketenagakerjaan Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia mampu menciptakan kebijakan inklusif untuk memperluas cakupan perlindungan sosial dan peningkatan kompetensi kerja bagi pekerja informal.
Baca Juga:
Inovasi BRImo Jawab Kebutuhan Masyarakat di Era Digital
Selama ini Kementerian Ketenagakerjaan hanya menjanjikan tanpa memberikan kepastian. Janji-janji ini menjadi hal biasa terjadi.
Dari beberapa uraian di atas, saya berharap para delegasi RI khususnya dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) mengkritisi hal ini dan memberikan laporan pada sidang ILC ke-113 sehingga Pemerintah Indonesia cq. Kementerian Ketenagakerjaan memiliki rasa bersalah dengan ketidakmampuan Pemerintah menjalankan amanat berbagai regulasi di atas dan masih rendahnya kualitas pengawasan dan penegakkan hukum yang dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan sehingga Kecelakaan kerja dan PAK masih banyak terjadi.
Demikian juga dengan kebijakan BSU yang diskriminatif kepada pekerja kemitraan, dan janji-janji tentang formalisasi sektor informal, harus juga menjadi catatan kritis SP/SB pada sidang ILC ke-113.
Baca Juga:
Ditbinmas Polda Metro Jaya Hadir Beri Dukungan Psikososial bagi Anak-anak Korban Kebakaran di Kapuk Muara
Memperjuangkan pekerja kemitraan berbasis digital menjadi pekerja tetap adalah baik, namun sangat baik juga bila SP/SB mengkritisi berbagai hal yang seharusnya dilakukan Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan untuk memastikan seluruh pekerja kemitraan saat ini mendapatkan perlindungan dan kesejahteraannya.
Yang sudah ada saja tidak dijalankan dengan baik, menjadi indikasi ketidakseriusan Pemerintah membicarakan tentang tiga isu di sidang ILC tahun ini. Kita tunggu daya kritisi SP/SB di Sidang ILC ke-113.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]