“Transportasi massal seperti MRT dan LRT itu menjadi urat nadi aglomerasi. Hunian yang terletak di dekatnya adalah bentuk adaptasi perkotaan yang benar. Kalau semua pemangku kepentingan sepakat, kita bisa ubah wajah Jabodetabekjur dalam satu dekade ke depan,” tegas Tohom.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengingatkan bahwa pengembangan kawasan aglomerasi tidak bisa dilakukan secara parsial.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
Ia menyebutkan perlunya pendekatan sistemik yang melibatkan kolaborasi lintas wilayah, khususnya antara Jakarta, Bodetabek, hingga Cianjur sebagai bagian dari satu ekosistem metropolitan.
“Jabodetabekjur bukan sekadar gabungan kota. Ini satu tubuh, satu ritme. Maka, kebijakan hunian, transportasi, dan infrastruktur harus dibangun dengan satu visi yang menyatukan semua elemen kawasan. Jangan biarkan wilayah pinggiran tertinggal hanya karena perencanaan pusat belum sinkron dengan daerah,” kata Tohom yang juga dikenal sebagai pengamat kebijakan metropolitan.
Ia pun mendorong adanya percepatan regulasi dan penyederhanaan perizinan untuk proyek-proyek hunian TOD agar tidak terhambat oleh tumpang tindih kewenangan atau lambannya birokrasi.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
“Kalau izinnya bisa dipercepat, kita bisa lihat proyek-proyek serupa Anandamaya atau Thamrin Residence juga berdiri di Cibubur, Serpong, atau bahkan Depok dan Karawang. Kita harus keluar dari pola sentralisasi Jakarta saja,” tambahnya.
Tohom menilai bahwa kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, pengembang swasta, dan masyarakat sipil adalah prasyarat mutlak untuk mendorong aglomerasi Jabodetabekjur menjadi kota dunia.
“Kita punya modal: penduduk besar, jaringan MRT–LRT yang mulai terbentuk, dan kesadaran publik yang makin tinggi. Tinggal bagaimana kemauan politik dan keberanian eksekusi diwujudkan. Karena kota global tak menunggu, ia dibangun hari ini,” tandasnya.