Psikolog klinis anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (UI) Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi membagi dua faktor penyulut remaja melakukan tawuran, yakni internal dan eksternal.
Faktor internal, yaitu fungsi otak yang belum optimal dari remaja membuat mereka kurang dapat memikirkan konsekuensi jangka panjang. Langkah mereka juga masih didominasi emosi dalam berperilaku atau mengambil keputusan.
Baca Juga:
Soal Kapolres Belawan Tembak Pemuda Tawuran di Tol Belmera, MUI Angkat Bicara
"Remaja ingin merasa menjadi bagian dari satu kelompok dan jika merasa diterima oleh kelompok tersebut maka remaja akan cenderung mengikuti nilai (value) dari kelompok tersebut, termasuk jika nilainya mengandung kekerasan," kata dia.
Sementara dari faktor eksternal, adanya tradisi tawuran di sekolah dan lingkungan. Sekolah dekat dengan lingkungan yang berisiko kekerasan seperti pasar, terminal, hingga titik tongkrongan geng, menjadi alasan para remaja melakukan tawuran. Alasan eksternal lainnya termasuk tidak ada pengamanan atau pencegahan di lingkungan dan tidak ada wadah yang dapat menyalurkan energi melimpah mereka.
Jadi, upaya dalam menekan tawuran harus dilakukan bersama dalam bentuk pencegahan. Caranya, dengan memberikan edukasi, ruang untuk berkegiatan positif, serta pendampingan oleh orang tua yang berkesinambungan.
Baca Juga:
Kapolres Jaksel Ungkap Tawuran di Manggarai Ada Sejak 1970, Pemicunya Macam-macam
Pendampingan itu dilakukan di dunia nyata maupun dunia maya sehingga anak tidak terjerumus dalam perbuatan yang dapat berakibat fatal bagi masa depan mereka karena tersangkut persoalan hukum.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir/Antara]