Menurutnya, angka ini menunjukkan bahwa pusat aktivitas ekonomi belum berpindah secara merata meski pusat domisili sudah bergeser.
“Yang kita butuhkan bukan hanya relokasi penduduk, tapi juga relokasi fungsi dan peluang ekonomi ke seluruh wilayah aglomerasi. Pemerintah pusat dan daerah harus satu visi dan mempercepat integrasi infrastruktur transportasi, perumahan, serta layanan publik di kawasan ini,” lanjutnya.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch, mengingatkan bahwa kawasan Jabodetabekjur berpotensi tumbuh menjadi pusat urban alternatif setara dengan kota-kota global seperti Greater London, Tokyo Metro Area, dan Randstad Belanda, asalkan dikelola dengan tata kelola metropolitan yang modern dan inklusif.
“Tidak bisa lagi pendekatan kita sektoral dan terfragmentasi. Ini era integrasi tata kota lintas batas administratif. Kalau tidak, kita akan melihat ketimpangan yang makin ekstrem antara pusat dan pinggiran,” paparnya.
Lebih lanjut, Tohom mendorong pemerintah untuk menjadikan agenda aglomerasi sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan lima tahun ke depan.
Baca Juga:
PLN IP Siap Wujudkan Listrik dari Panas Bumi Hingga 5,2 GW
Ia menyebut, visi Indonesia Emas 2045 hanya bisa tercapai bila urbanisasi dikelola dengan lompatan desain.
“Pak Prabowo dan Mas Gibran harus menjadikan aglomerasi ini sebagai laboratorium hidup menuju kota masa depan. Kota global bukan soal pencakar langit semata, tapi soal keadilan mobilitas, akses air bersih, udara sehat, dan kemudahan hidup,” tuturnya.
Kawasan aglomerasi Jabodetabekjur mencakup lebih dari 30 juta penduduk, menjadikannya salah satu konsentrasi urban terbesar di dunia.